Senin, 16 Agustus 2010

ORANG PAPUA BISA MENJADI PRESIDEN INDONESIA DALAM BUKU: “PAPUA 100 TAHUN KE DEPAN”

----- Karangan: H.Purwanto. Penerbit: Cipta Mandiri Press.
Editor: Samsul Muarif. Tebal: 336 hal. Edisi I: April 2010-------

Diskusi tentang PAPUA 100 TAHUN KE DEPAN:
Pares L.Wenda

Tentang Penulis. Wawan H. Purwanto, Lahir Kudus,10 November 1965 (Jawa Tengah). Menikah dengan Arsi Argasanti pada 2 Juni 1994), Ia dikarunia anak 1. Lukman Harun Satrio Negoro, lahir 10 Desember 1995. 2. Nur Wahid Wijoyo Kusumo, lahir 17 April 2001. Jabatan Staf Ahli Wakil Presiden RI Bidang Keamanan dan Kewilayahan. Pendidikan, SD Indah Ungaran II, SMP I Ungaran, dan SMA I Ungaran, semua di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. S-1 Sarjana Hukum, Jurusan Hukum Internasional, Universitas Diponegoro, Semarang, tamat tahun 1989. S-2 Magister Hukum, konsentrasi Hukum Bisnis, Universitas Indonesia, Jakarta, tamat tahun 2001. Tahun 2005 Kandidat Doktor Hukum Bidang Ilmu Hukum, Universitas Padjajaran, Bandung
Pekerjaan, Pendiri, Direktur, dan Peneliti pada Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN). Dosen Luar Biasa pada Intitut Intelijen Negara (IIN). Pengajar di Mabes Polri. Dosen luar biasa di sejumlah perguruan tinggi. Tim Sosialisasi Perjanjian Damai Helsinki RI-GAM. Sekretaris Tim Sosialisasi Wawasan Kebangsaan dan UKM Kantor Wakil Presiden RI. Pemberi makalah pada berbagai forum seminar dan diskusi di dalam dan luar negeri. Menjadi narasumber pada berbagai media massa dalam dan luar negeri. Staf Ahli Wakil Presiden RI Bidang Keamanan dan Kewilayahan.






“Membayangkan 100 tahun kedepan tentang orang Papua. Bahwa suatu ketika mereka bisa menjadi Presiden Indonesia. Karena sekarang mereka sudah menjadi menteri, mereka sudah mempunyai kemampuan yang sangat berlian, tinggal dipoles disana sini. Melalui UU Otonomi khusus ada kewenangan-kewenangan khusus yang memberikan ruang bagi mereka (orang Papua) untuk maju”. (Purwanto,Arpil 2010).

Penulisan dalam kata pengantar dari buku 100 TAHUN PAPUA KE DEPAN itu, sepertinya memberikan harapan baru, energy baru, semangat yang baru bagi orang Papua dan membawa orang Papua untuk bermimpi tentang Indonesia, bermimpi orang Papua di dalam Indonesia, mimpi 100 tahun di dalam Indonesia, mimpi 100 tahun lagi orang Papua menjadi Presiden.

Atau bisa jadi buku ini sindiran tentang mimpi sampai 100 tahun pun perjuangan keadilan, persamaan derajat, hak asasi manusia di tanah Papua tidak akan tercapai? Dan mungkin kerinduan dan harapan orang Papua untuk merdeka secara politik mungkinkah hanya mimpi? Atau hal-hal yang lain mungkin hanya mimpi (ini hanya pemikiran subjektif saja), tetapi yang benar mungkin seperti yang dibayangkan mas Purwanto. Atau bagaimana dengan pendapat yang lain???????

Entahlah, maksud Purwanto 100 tahun itu di mulai dari tahun terbit bukunya atau sejak otonomi khusus digulirkan buku ini tidak memberi detlain waktu 100 tahun yang dimaksudkannya tentang masa depan orang Papua dan tanahnya di dalam Indonesia. Tetapi hanya memberi judul 100 Tahun Papua Ke Depan.

Buku ini cukup menarik perhatian banyak orang, selain dua buku lain yang menarik perhatian yang sama khususnya dari penulis-penulis dari luar Papua tentang Papua yaitu Papua Road Map karangan Muridan W.S,Dkk (LIPI,2009) dan Hebo Papua Karangan, Amirudin Al Rahap (2010).

Namun kepada mas Purwanto, dkk lain khususnya penulis dan pemerhati Papua dari luar Papua perlu di apresiasi, karena tidak banyak anak Papua yang mau menulis tentang diri mereka, sehingga banyak orang luar Papua yang menulis tentang Papua. Dalam konteks ini Purwanto bagian dari orang yang ikut memikirkan Papua, maka perlu dihargai dan dihormati intelektualnya.

Namun kami sebagai anak negeri, setidaknya mencoba membeda dari apa yang ditulis oleh teman-teman, sahabat-sahabat terbaik ini, agar ada cek and balance dalam setiap penulisan buku tentang Papua, tetapi juga saya ingin belajar untuk melihat Papua dari perspektif sebagai anak adat tentang Papua dan mau menjelaskan sedikit tentang Papua, dengan perbandingan tulisan-tulisan yang ada.

Buku 100 TAHUN PAPUA KE DEPAN sangat berbeda ketika dibandingkan dengan buku Papua Road Map (LIPI,2009), Atau Hebo Papua (Amirudin Al Rahap,2010). Menurut saya ke dua buku itu, sangat obyektif dan berani mengungkapkan kebenaran proses sejarah di masa lalu, masa kini dan bagaimana rekontruksi Papua ke masa depan. Apakah Indonesia sanggup membuat orang Papua menjadi Indonesia atau sebaliknya suatu hari orang Papua menentukan pilihan lain. Sementara buku 100 TAHUN PAPUA KE DEPAN, adalah buku 100% Purwanto berangan-angan bahwa Papua di dalam Indonesia sampa 100 tahun ke depan, karena itu isinya pun mendukung pandangannya tentang Papua di dalam Indonesia. Sedikitpun tidak disentil solusi penyelesaian yang ditawarkan oleh Muridan,dkk atau dalam buku Amirudin Al Rahap yang mendorong agar Proposal LIPI tentang empat hal yang diangkat LIPI di bawah ke dalam meja DIALOG.

Selain itu juga buku ini cocok dibaca oleh para birokrat yang bekerja di Papua entah di provinsi atau kabupaten/kota sebagai buah pemikiran dalam pembangunan yang dijalankan oleh para pemimpin dalam pemerintahan NKRI di Papua. Karena dalam bab 6, 7 dan 8 misalnya Purwanto banyak mengulas tentang bagaimana membangun Papua di dalam Otonomi Khusus Papua atau titik berat masa depan Papua yang dibayangkan Purwanto ditulis disini.

Sementara bagian pertama dari buku ini berbicara soal nama pulau Papua dari Papua New Guinea, Irian Barat, Irian Jaya dan Kini papua. Secara politik Papua kemudian dibagi dua Provinsi yaitu Papua & Papua Barat. Sejak Papua berada di dalam Kontrol Indonesia Papua terus mengalami perubahan Nama Papua. Nama Pulau Irian Barat (Seokarno) menjadi Irian Jaya sejak 1967 (Soeharto) dan Papua, diberikan oleh Gus Dur sejak 2000. Besok apalagi??????

Nama Irian dijelaskan disini berdasarkan pemahaman orang Biak, Serui dan Merauke yang mempunyai makna berbeda. Menurut orang Biak melalui cerita Monarmakeri Irian artinya tanah Panas. Orang Serui menterjemahkan Tanah Air. Orang Merauke menterjemahkan bangsa utama. Irian menurut orang Biak diperkenalkan oleh Frans Kaisiepo yang meberikan arti nama Irian itu. Tetapi Arti irian dari Serui dan Merauke Purwanto tidak memunculkan tokoh siapa yang bertenggungjawab menterjemahkan arti irian itu seperti yang dijelaskan purwanto.

Sementara dalam buku ini juga menjelaskan bahwa orang Arab meberi nama Irian Jaya yang artinya telanjang (Apa benar????). intinya dari nama Irian itu fersi Indonesia dan nama Papua itu versi orang Barat tetapi ada juga yang mengatakan nama Papua itu berasal dari bahasa Melayu yang merujuk kepada orang yang berabut keriting dan berkulit hitam. Lalu mengapa dua nama saja yang secara politis terus dipersoalkan sementara pemberian nama dari orang Cina misalnya Jangi atau Tungki tidak sama sekali dipersolakan, artinya apa? Atau mengapa nama Papua tidak diberikan Jangi atau Tungki atau nama lain??????

Baik nama Irian maupun Papua dugunakan lebih pada kepentingan politik dan politisasi ke dua nama tersebut. Keputusan politik tahun 1961 waktu pembentukan Dewan New Guinea Raad Tanah ini diberi nama Papua Barat bukan Irian Barat atau Irian Jaya, Negaranya: Negara Republik Papua Barat (versi Indonesia Negara Boneka Buatan Belanda).

Sedangkan Irian Barat, Irian Jaya adalah salah satu Provinsi dari Indonesia (part of Indonesia province) yang artinya nama itu ada sejak Indonesia control wilayah ini. Karena itu keberadaan dua nama ini mengadung nilai Politis Baik Papua maupun Irian Jaya. Karena mengandung nilai politik itu maka kedua nama ini diberi oleh Indonesia sendiri di mana Irian Barat (Soekarno), Irian Jaya (Soeharto), Papua (Gus Dur). Artinya tiga nama Pulau Papua itu diberikan oleh Pemimpin Indonesia (Presiden RI 1,2 dan 4).

Irian arti yang sesungguhnya adalah Ikut Republik Indonesia Anti Nederland hasil kreasi dan ciptaan Bung Soekarno (Sang Proklamator RI). Soekarno sebagai pemipin revolusi Indonesia, ia mempunyai cita-cita untuk mewujudkan Indonesia Raya dari Sabang sampai ke wilayah-wilayah Pasifik Selatan dan juga ingin menguasai Malaysia dan sekitarnya, sesuai dengan pengalaman kekuasaan kerajaan masa lalu (Sriwijaya, Majapahit,dsb). Jadi pengertian Irian menurut orang Biak, Serui dan Merauke posisinya ada di mana????. Tiga wilayah ini melegitimate hasil kreasi nama Irian oleh Bungkarno atau????? Nama Irian dan Papua kedua nama pulau ini masih dijadikan atau di politisasi sampai hari ini, sampai kapan akan berakhir, kita tunggu episode berikutnya.

Nama yang elegant bermartabat dan sesuai dengan letak geografis pulau Papua sebenarnya harus disebut PAPUA BARAT, meskipun nama ini juga bukan pemberian orang asli Papua, tetapi secara geografis sesunguhnya WEST PAPAPU NEW GUINEA, atau WEST PAPUA saja.

Secara politik wilayah Papua ini, kemudian dibagi dua Provinsi oleh Indonesia. Yang disebut Provinsi Papua itu terletak di bagian timur, Ibu Kota Jayapura dan Papua Barat di bagian barat ibu Kota Manokwari.

Menurut Amirudin (2010), tujuan dari Pemaksaan Pemekaran yang menodai UU Otonomi khusus No.21 Tahun 2001 itu untuk meredam aspirasi Papua Merdeka, atau kalau terjadi Referendum maka dua provinsi yang akan melaksanakan referendum. Namun Amirudin mengatakan bahwa pelaksanaan pemekaran itu sudah terlambat karena nasionalisme Papua Barat sudah terbangun dengan sangat rapih dan kokoh.

Dan bagian 2 dari buku ini berbicara tentang hubungan bangsa Papua dengan bangsa lain di dunia seperti hubungan dengan India, Cina, Kerajaan-Kerjaan di Indonesia, Portugis, Spanyol, dan Belanda.

Bab 3 berbicara tentang pengaruh Islam, Kesultanan Tidore, Kerajaan Majapahit, dsb. Dalam pandangan orang Papua, Kontak dengan Islam (khususnya di Fak-fak, Waigeo, Salawati, dan sekitarnya) dan bangsa Cina (peninggalannya jelas di Serui, Biak dan sekitarnya), Spanyol (berdasarkan pemberian nama Papua New Guinea), Belanda (menguasai tanah Papua) dan Kerajaan Tidore dalam konteks penyebaran Islam dan huubunngan dagang sangat jelas. Pengaruh Majapahit sepertinya belum pernah diceritakan oleh orang Papua, tidak ada bukti kuat sampai saat ini. Demikian juga Hubungan dengan India, namun itupun diulasnya pada bagian ini.

Bagian 4 berbicara Papua di dalam Indonesia dan kebijakan dan strategi Pembangunan dan pemekaran untuk Papua yang tidak pernah terealisasi di era orde baru, namun saat ini tumbuh bagaikan jamur di Indonesia maupun di Papua. Dalam bab ini juga berbicara tentang sepak terjang perjuangan rakyat Papua melawan Indonesia melalui dua lembaga politik yaitu OPM dan PDP. Sementara PDP mendapat dukungan yang kuat dari rakyat tetapi kemudian karena PDP tidak bisa bekerja lagi maka ia dinilai tidak mempunyai strategi yang baik karena SDMnya yang kurang menurut Purwanto. Kemudian orang-orangnya di dalam PDP juga dinilai bahwa mereka adalah kaki tangan NKRI. Kemudian juga dibahas perlawanan TNI/POLRI dan warga pendatang terhadap aksi-aksi OPM atau warga biasa dengan isu Islam dan Kristen. Dalam bab ini dikritisi juga bagaimana militer Indonesia menjadikan Papua dalam dua perspektif yaitu perlawanan dalam konteks melawan separatism, tetapi juga menjadikan Papua sebagai lahan bisnis di dalam konflik-konflik yang terjadi antara militer dan OPM atau (juga diciptakan). Atau perebutan lahan antara TNI dan POLRI sering terjadi konflik diantara mereka di Papua. Kemudian Generasi baru (pemuda Papua) muncul lebih radikal dalam memperjuangan keadilan, perdamaian dan hak asasi manusia di Papua.

Bab 5 membahas tentang pelanggaran HAM, Papua di dalam orde baru ke reformasi, serta kehadiran Freeport dan pelanggaran HAM, kekayaan alam yang dijadikan lahan bisnis, dsb. Tidak menunjukan data-data yang falit. Tetapi juga perjuangan orang Papua masih dianggap sebagai perjuangan rakyat yang bersifat mistik, bahwa perjuangan rakyat Papua adalah perjuangan berdasarkan kepercayaan agama suku seperti di Biak ada manarmakeri, di Wamena ada nabelan kabelan, di Timika HAI dan agama suku lain di Papua. Seperti dipulau Jawa juga ada kepercayaan tentang RATU ADIL, baik RATU ADIL di Jawa maupun KEPERCAYAAN AGAMA SUKU di Papua sama-sama tidak memberi harapan kemerdeakaan. Misalnya Indonesia dari Penjajahan Belanda oleh Ratu Adil atau Kemerdekaan Papua dari Indonesia oleh kepercayaan Manarmakeri atau Nabelan-Kabelan. Namun ada salah pengertian disini khusus pada nubuatan Nabelan Kabelan dalam kepercayaan orang Lani. Orang Lani menterjemahkan nabelan kabelan bukan pada konteks perjuangan rakyat dewasa ini, tetapi nabelan kabelan adalah sebuah penantian yang dinubuatkan dalam kepercayaan orang Lani bahwa suatu ketika orang kulit putih (orang barat) akan datang membawah misi kebenaran dan itu telah digenapi oleh Misionari di wilayah pedalaman pada umumnya di daerah orang Lani tetapi juga khusus pada orang Lani di Wilayah yang kini menjadi Kabupaten Lani Jaya Misionaris masuk sejak 1956 yang artinya telah menggenapi NABELAN KABELAN atau hal itu diyakini sebagai penggenapan nubuatan kedatangan orang kulit putih membawa kabar baik. Jadi sama sekali tidak ada hubungan dengan perjuangan rakyat Papua saat ini. Perjuangan rakyat Papua dalam penegakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, penegahkan martabat manusia, kesamaan derajat adalah satu persoalan yang berbeda.(Lihat: Kiloner Wenda &Pares L.Wenda,2009 dan Zolner, 2008)

Bagian 6,7,8 berbicara soal masa depan Papua di dalam OTONOMI KHUSUS, kelemahan, kelebihan, keungan, dan strategi pelaksanaan OTONOMI KHUSUS yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah yang belum dapat dilaksanakan (mungkin semacam pemikiran untuk memberi masukan kepada pemerintah). Termasuk regulasi yang harus dibuat oleh pemerintah untuk menopang pelaksanaan OTONOMI KHUSUS yang tidal luput dari perhatiannya.

Bagian 9 memberikan pemikiran tentang solusi bagi penanganan separatism, kemudian di dalam bab ini Purwanto mengatakan bahwa akar persoalan Papua adalah sumber daya alam (pandangan ini sangat berbeda dengan Pandangan orang Papua bahwa akar masalah Papua bukan SDA tetapi status sejarah Papua di dalam Indonesia), orang Papua melihat SDA sebaga ekses dari persoalan STATUS POLITIK PAPUA, kemudian juga sedikit mengulas tentang ketegangan antar umat beragama di Papua, dsb.

Bagian 10 berbicara tentang suara hati warga Papua, entah suara hati dari siapa? Tetapi Purwanto menganggap apa yang ditulis di dalamnya adalah suara hati orang Papua. Menurutnya pada bagian ini disarikan dari berbagai macam disuksi yang dilakukannya, kemungkinan dengan berbagai komponen masyarakat terutama pemangku kekuasaan di Papua.

Bagian 11 akhir dari buku ini mengulas tentang perjuangan sang Jendral Panglima Tertinggi di dalam jajaran militer Papua Kelly Kwalik. Padangan saya tulisan akhir ini adalah bentuk penghormatan terakhir dan kenangan untuk perjuangan Kelly tentang Papua “M”.

Purwanto menulisnya dalam perspektif atau cara pandang Indonesia, dia belum mencoba menjadikan dirinya bagian dari masalah orang Papua, atau posisi dia antara Indonesia yang sedang dijajah Belanda dan dia dalam posisi dijajah. Tetapi Purwanto berbicara dari sudut pandang orang merdeka, (free man) tanpa tekanan dari sudut manapun, apalagi dalam kapasitas Purwanto sebagai pengamat intelijen, dan kapasitas lain yang dimilikinya sebagai warga Negara Indonesia.

ATAU PURWANTO MISALKAN MENJADIKAN DIRINYA SEBAGAI SEORANG FRANSZ FANON SEORANG KARIBIA BERKEBANGSAAN PRANCIS. DIMANA ORANG INI MELIHAT KETIDAKADILAN NEGARANYA (PRANCIS) TERHADAP BANGSA ALJAZAIR, BANGSA ALJAZAIR KETIKA DI JAJAH PRANCIS KALA ITU, ORANG-ORANG YANG DIJAJAH TERUTAMA PEJUANG-PEJUANG KEMERDEKAAN YANG DIPENJARAHKAN, MEREKA SEMUA MENGALAMI GANGGUAN MENTAL ATAU GANGGUAN JIWA, FRANZ FANON SEBAGAI SEORANG DR.PSIKOLOG MELIHAT KONDISI INI HATINYA TERSENTU, SEHINGGA IA MEMILIH BERGABUNG DENGAN PEJUANG ALJAZAIR DAN MEMERDEKAKAN WILAYAH ITU DARI PRANCIS. SEMOGA….!!!!

Buku ini masih berbicara dari satu sisi dalam perspektif bagaimana orang Papua di Indonesiakan. 100 tahun misalnya Papua merdeka nasip mereka seperti apa tidak dikemukakan disini, karena pandangan Purwanto tentang Papua di dalam Indonesia sudah final?

Sementara penelitian Foker ELSHAM Papua menunjukan dalam kurun waktu 27 tahun (2003-2030) ke masa depan orang Papua bisa menjadi minoritas. Pada tahun 2003 pertumbuhan orang Papua asli 48%, non Papua 52% dari total sensus penduduk Papua pada tahun 2003. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk yang demikian, diprediksi pada tahun 2030 jumlah penduduk asli Papua 1,67% dibanding non Papua 10,5%. (Lihat: Septer Manufandu. Makalah Seminar Otonomi khusus Papua Mei 27-28,2010 Hotel Niko Jakarta ).

Penelitian Yeal University (April,2004) dalam kesimpulan mereka menyebutkan:
“Sejak Indonesia menguasai Papua Barat, orang Papua Barat mengalami penderitaan yang sangat mengerikan di tangan pemerintah. Militer Indonesia dan pasukan keamanan telah terlibat dalam kekerasan dan pembunuhan di luar hukum di Papua Barat. Mereka telah melakukan tindakan penyiksaan terhadap laki-laki dan perempuan Papua dengan cara penghilangan nyawa, pemerkosaan, dan kekerasan seksual, sehingga menyebabkan luka serius dan membahayakan jiwa mereka. Penguasaan secara sistematis eksploitasi terhadap sumber daya alam, kerusakan lingkungan, wajib (dan sering tidak terkompensasi) tenaga kerja, program transmigrasi, dan pemaksaan relokasi daerah telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang luas dengan maskud menghancurkan adat istiadat mereka, dan menyebabkan penyakit yang meluas, kekurangan gizi, dan kematian bagi masyarakat Papua Barat. Tindakan seperti itu, secara keseluruhan, tampaknya merupakan pengenapan perencanaan sistematis yang diperhitungkan untuk membawa orang Papua Barat kepada kehancuran/genosida. Banyak dari aksi-aksi, secara individu dan kolektif, jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah hukum internasional. Selanjutnya, di mata orang Papua Indonesia adalah Penjajah. Dalam analisis akhir, apakah jumlah tindakan yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap orang Papua Barat naik ke tingkat genosida ternyata…. Jelas, beberapa pelaku genosida tidak meninggalkan catatan yang jelas tentang maksud mirip dengan laporan eksplisit Hitler niat jahat untuk menghancurkan orang-orang Yahudi atau pemerintah Rwanda Hutu. Pemerintah hati-hati membuat perencanaan untuk menyingkirkan wilayah Rwanda dari semua etnis Tutsi. Biasanya, tujuan genosida itu harus disimpulkan dari tindakan para pelaku genosida. Disertai dengan bukti-bukti kekerasan dan kesaksian dari para korban. Dalam kasus Papua Barat, apapun kesimpulan tersebut harus tetap tentatif diberi kesulitan dalam pengumpulan data kualitatif atau kuantitatif komprehensif mengenai pelanggaran hak asasi manusia Indonesia di Papua Barat, dulu dan sekarang. Namun, bukti-bukti historis dan kontemporer yang dijelaskan di atas sangat menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan perbuatan terlarang dengan tujuan untuk menghancurkan orang Papua Barat seperti itu, atau telah melanggar Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida”.

Penelitian Sydney University (2005) menunjukan berbagaimacam pelanggaran yang dilakukan sejak control Indonesia terhadap tanah Papua. Mulai dari Ilegal loging, bisnis militer, setiap tindakan kekerasan selalu menyalahkan kepada kelompok pro-kemerdekaan, rekrutmen dan pelatihan milisi, memasok sejanta illegal, prostitusi dan penyebaran HIV/AIDS, pelanggaran HAM dan lainnya, semua itu dilakukan dengan tujuan genosida. Itulah yang ditulis dalam buku mereka di bawa judul Genocide in West Papua? The role of the Indonesian state apparatus and a current needs assessment of the Papuan people.

Socratez Sofyan Yoman (2007), pada tahun 1969 jumlah penduduk PNG 600.000 jiwa. Pada tahun yang sama jumlah penduduk Papua 800.000 jiwa. Pada tahun 2007 jumlah penduduk PNG estimasi 6 juta jiwa. Jumlah penduduk Papua 2,6 juta jiwa. (lihat: BPS Provinsi Papua untuk Jumlah Penduduk Papua tahun 2005).

Berdasarkan data sensus 2005 itu pertumbuhan penduduk orang Papua antara (1969-2007) atau dalam kurun waktu 38 tahun pertumbuhan penduduk Papua 0,5% per tahun Dan ketika diproyeksikan jumlah penduduk 2007-2016 atau dalam kurun waktu 10 tahun ke depan pertumbuhan penduduk diperkirakan 2.732.600 jiwa. Atau kalau pertumbuhan penduduk ingin lebih cepat dibutuhkan waktu 14 tahun maka pada tahun 2021 penduduk Papua kira-kira bisa mencapai 5.465.200 jiwa dalam konteks orang asli Papua (pertumbuhan alami), no migration, atau pertumbuhan penduduk social, walaupun data di atas termasuk non-Papuan.

Tahun 1969 Penduduk PNG 600.000 jiwa. Sensus penduduk tahun 2000 menunjukan jumlah penduduk PNG mencapai 5.190.783 jiwa. Penduduk PNG pada tahun 2009 diestmate mencapai 6.732.000.

Pertumbuhan penduduk selama 31 tahun (1969-2000) di PGN dalam persentase menunjukan 2,5%. Sementara Pertumbuhan penduduk di Papua selama 38 tahun (1969-2007) menunjukan 0,5%. Jika disimpulkan sesuai dengan standar Internasional menunjukan bahwa petumbuhan penduduk di suatu daerah di bawah 1% digolongan pertumbuhan yang sangat rendah. Kemudian antara 1%-2% menunjukan pertumbuhan sedang dan pertumbuhan di atas 2% digolongkan tinggi. Dengan demikian dalam kurun waktu 38 tahun penduduk Papua telah terjadi kekurangan jumlah penduduk. Sementara di PNG terjadi pertumbuhan penduduk tinggi.(Amir Syarifuddin,dkk, 2000).

Sementara seorang futuris terkenal seperti John Naisbitt (2008) mengatakan masa depan tertanam di masa kini. Apa yang terjadi masa kini di Papua, orang bicara kegagalan otonomi khusus, genosida, pelanggaran HAM, dsb, apakah 100 tahun kedepan bisakah orang Papua menjadi Presiden? Barnabasa Suebu juga pernah bermimpi bahwa suatu ketika orang Papua bisa menjadi RI satu di mana orang itu tidak diukur berdasarkan warnah kulit, perbedaan agama, dsb tetapi berdasarkan watak, karakter, dan intelektual yang dimiliknya (Barnabas,2004) tetapi apakah itu bisa terjadi? Sementara orang Sumatera berusaha menjadi RI 1, orang Kalimatan belum menjadi presiden, orang Ambon belum menjadi presiden, orang Bali belum menjadi presiden, orang NTT & NTB belum menjadi president Indonesia???

Obama bisa mencapai posisi puncak saat ini, dalam suatu proses perjuangan panjang. Orang kulit hitam Amerika membutuhkan waktu ± 232 tahun (sejak 1776-2008) atau sejak emansipasi kesamaan derajat yang dipelopori oleh Abraham Lincoln 146 tahun lalu atau sejak 22 September 1862. (Gardon Kerr,2009; Donald C. White,Jr,2009). Emansipasi yang diperjuangkan oleh Abraham Lincoln itu ternyata belum berfungsi dengan baik, sehingga penerusnya Pastor.Marthin Luther King,Jr berjuang 53 tahun silam sejak 1955-2008. (Simon Sebag Montefiro,2008). Melalui proses perjuangan yang panjang itulah, kemudian mereka bisa menjadi presiden Negara adidaya tersebut. Namun perlu dicatat disini bahwa orang Indian asli Amerika belum menjadi Presiden Amerika bahkan mereka menjadi minoritas diatas tanah leluhur mereka sampai hari ini. Orang Aborigin masih berjuang untuk menjadi perdana menteri Australia. Orang Maury di New Zeland masih berjuang untuk menjadi Perdana Menteri NZ. Sementara orang PNG sudah menjadi Perdana Menteri di tanah airnya sendiri. Orang Vanuatu dapat menjadi perdana menteri sendiri walaupun dalam kabinet Negara itu kebanyakan adalah warga keturunan India yang dibuang pada zaman Kolonial Inggris. Namun negeri ini tidak diatur lagi oleh Inggris atau Negara koloni manapun di dunia ini.

Inggris merupakan Negara koloni terbesar di dunia tetapi juga Negara yang sangat menghormati hak-hak pribumi. Banyak daerah koloninya yang dilepaskannya dan memerdekakannya meskipun melalui suatu perjuangan yang panjang tetapi kemudian membangun hubungan baik dengan mereka dalam jangka panjang seperti India, Hongkong, Australia, PNG, Amerika dan lain sebagainya. Atau Australia misalnya memberi kemerdekaan kepada PNG pada tahun 1975 walaupun masih ada hubungan dalam konteks Negara-negara commonwealth. Lalu bagaimana dengan Indonesia dan Papua???? Bisakah Indonesia seperti Australia? Inggris? Ameriaka terhadap Philipine, Panama, atau dari Negara Kolononi kepada Negara-negara jajahan di Afrika, Asia atau Negara-negara di Kawasan Pasifik??? Semua berpulang kepada kebijaksanaan dengan ketulusan hati dari Indonesia kepada rakyat Papua atau sebaliknya…..?????

Dalam konteks inipun tidak dibahas dalam buku ini, atau mungkin bisa bernasip seperti Timor Leste, atau lebih terhormat lagi Indonesia sebagai Negara Demokrasi Muslim terbesar ke tiga di dunia setelah India dan USA (lihat:Dinno Patti Jallal, 2008) di mana Dinno mengatakan Indonesia unggul dan berbeda dengan Negara Islam lainnya di dunia. Dimana ada Negara Islam yang sangat Islami tetapi dalam tahap pembangunan kehidupan demokrasinya sangat minim. Ada Negara yang sangat Islamic dan sangat modern namun belum mempunyai nilai demokrasi atau sangat minim. Dan sangat sedikit negara yang memiliki ketiganya. Namun di Indonesia mempunyai tiganya yaitu Islam, Moderenism and democracy.

Artinya dalam pemikiran subyektif saya apabila Indonesia berfikir moderat dengan memberikan otonomi khusus ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan baik Indonesia maupun Papua ketika ia diterjemhakan menjadi Indonesia, namun Indonesia berfikir lebih ekstrim lagi dengan memberikan pilihan seperti Inggris yang memutuskan memberikan Negara persekmakmuran atau independen penuh terhadap negeri jajahannya. Atau Australia memberikan kemerdekaan penuh kepada PNG 1975. Atau sebagai Negara Islam, Modernism, dan democrasi dan memberikan ruang demokrasi untuk menentukan pilihan rakyat Papua, tetap bersama Indonesia atau keluar dari Indonesia. Karena sampai saat ini orang Papua memahami dengan sangat baik bahwa PEPERA 1969 adalah pepera yang cacat hukum. Dalam konteks inipun tidak dibahas dalam buku ini, namun buku ini dibahas dalam konteks Papua dalam lingkaran RI.

Pekerjaan win-win solution yg dilakukan Indonesia menurut saya adalah masalah Tim-Tim. Meskipun ada pengorbanan yang berat untuk itu. Baik pihak TIM-TIM maupun pihak Indonesia. Namun rakyat berhasil menentukan hak pilihnya. Itulah demokrasi yang sangat elegan menurut saya. Dalam konteks yang lain Indonesia Negara Islam terbesar di dunia berhasil menore sejarah di Tim-Tim dan masyarakat Internasional tidak akan dan tidak akan pernah melupakan proses sejarah itu, menurut hemat saya Indonesia salah satu Negara Islam di dunia yang memberikan kebebasan penuh kepada suku bangsa lain yang ada di bawah controlnya memberikan ruang untuk menentukan pilihan.

Betapa indah dan elegan mendengar kata-kata seperti itu.

Harapannya silakan mengeksplor Buku ini atau kita menunggu
“wa wa wa wa wa wa wa wa”.









Referensi
1. Brundige, Elizabeth, At All. April,2004. Indonesia Human Right Abuses in West Papua: Application of the Law Genocide to the History of Indonesian Control.A paper prepared for the Indonesia Human Rights Network.The Allard K.Lowenstein International Human Rights Clinic Yale Law School.
2. Djalal, Dino Patti,Dr,2008. Harus Bisa, Seni Memimpin ala SBY.Red & White Publishing, Indonesia.
3. Kerr, Gardon,2009. Leader Who Changed the World. Omnipress, India.
4. Manufandu, Septer. Seminar: Manfaat Otonomi khusus Bagi Rakyat Papua. Mei 27-28,2010. FORKOM Papua, Hotel Niko Jakarta.
5. Montefiore, S.Sebag, 2007. Pidoto-Pidato Yang Mengubah Dunia.Sesensi Erlangga Group, Jakarta.
6. Naisbitt, John, 2008. Mind Set! Tata Pola Pikir Anda Untuk Membaca Peluang Bisnis Masa Depan & Menuai Profit. Daras Books, Jakarta.
7. Purwanto H, Wawan. April 2010, Papua 100 Tahun Ke Depan. CBMpress, Jakarta.
8. L.Wenda, Pares, 2010. Diskusi Buku Hebo Papua, Perang Rahasia Trauma dan Separatisme, bersama penulis buku A.A.Rahab via Email.
9. Rahab Al, Amirudin. January 2010, Hebo Papua, Perang Rahasia Trauma dan Separatisme. Komunitas Bambu.Jakarta.
10. Suebu,Barnabas, 28 Juni 2004. Masa Depan Indonesia. Di Lemhannas Executive Club, Jakarta.
11. Amir Syarifuddin, Drs. Sri Sudarmi, Dra. Usmaini, Dra, 2000,Geografi I, Yudhistira Jakarta.
12. . Wenda, Kiloner dan L.Wenda, Pares, dkk, 2009. Sejarah Gereja Baptis Papua Barat. Gramedia, Jakarta.
13. Wing, John With King,Peter. August, 2005. Genocide in West Papua? The Role of the Indonesian State apparatus and a current needs assessment of the Papuan People. A report prepared for the West Papua Project at the Center for Peace and Conflict Studies, University of Sydney, and ELSAHM Jayapura.
14. White Ronald, C, Jr 2009. A Biografhy A.Lincoln.Rondom House, New York.
15. Yoman, Socratez Sofyan, 2007. Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Galang Press. Yogyakarta.
16. Zöllner, Siegfried. Budaya Papua dalam Transisi: Ancaman Akibat Moderenisasi Jawanisasi dan Diskriminasi. The Evanggelical Church in the Rhineland. Bekerja sama dengan The Evangelical Church of Westphlia. The World Council of Churches. United Evangelical Mission. Misereor GKI di Tanah Papua. West Papua Netzwerk. Editor: Dr. Theodor Rathgember,2006.
17. http://en.wikipedia.org/wiki/Papua_New_Guinea (update 5/8/2010).
18. http://id.wikipedia.org/wiki/Frantz_Fanon (update 1/8/2010).
19. http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/w/wawan-purwanto/biografi/02.shtml (update, 9/8/2010)