Senin, 16 Agustus 2010

ORANG PAPUA BISA MENJADI PRESIDEN INDONESIA DALAM BUKU: “PAPUA 100 TAHUN KE DEPAN”

----- Karangan: H.Purwanto. Penerbit: Cipta Mandiri Press.
Editor: Samsul Muarif. Tebal: 336 hal. Edisi I: April 2010-------

Diskusi tentang PAPUA 100 TAHUN KE DEPAN:
Pares L.Wenda

Tentang Penulis. Wawan H. Purwanto, Lahir Kudus,10 November 1965 (Jawa Tengah). Menikah dengan Arsi Argasanti pada 2 Juni 1994), Ia dikarunia anak 1. Lukman Harun Satrio Negoro, lahir 10 Desember 1995. 2. Nur Wahid Wijoyo Kusumo, lahir 17 April 2001. Jabatan Staf Ahli Wakil Presiden RI Bidang Keamanan dan Kewilayahan. Pendidikan, SD Indah Ungaran II, SMP I Ungaran, dan SMA I Ungaran, semua di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. S-1 Sarjana Hukum, Jurusan Hukum Internasional, Universitas Diponegoro, Semarang, tamat tahun 1989. S-2 Magister Hukum, konsentrasi Hukum Bisnis, Universitas Indonesia, Jakarta, tamat tahun 2001. Tahun 2005 Kandidat Doktor Hukum Bidang Ilmu Hukum, Universitas Padjajaran, Bandung
Pekerjaan, Pendiri, Direktur, dan Peneliti pada Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN). Dosen Luar Biasa pada Intitut Intelijen Negara (IIN). Pengajar di Mabes Polri. Dosen luar biasa di sejumlah perguruan tinggi. Tim Sosialisasi Perjanjian Damai Helsinki RI-GAM. Sekretaris Tim Sosialisasi Wawasan Kebangsaan dan UKM Kantor Wakil Presiden RI. Pemberi makalah pada berbagai forum seminar dan diskusi di dalam dan luar negeri. Menjadi narasumber pada berbagai media massa dalam dan luar negeri. Staf Ahli Wakil Presiden RI Bidang Keamanan dan Kewilayahan.






“Membayangkan 100 tahun kedepan tentang orang Papua. Bahwa suatu ketika mereka bisa menjadi Presiden Indonesia. Karena sekarang mereka sudah menjadi menteri, mereka sudah mempunyai kemampuan yang sangat berlian, tinggal dipoles disana sini. Melalui UU Otonomi khusus ada kewenangan-kewenangan khusus yang memberikan ruang bagi mereka (orang Papua) untuk maju”. (Purwanto,Arpil 2010).

Penulisan dalam kata pengantar dari buku 100 TAHUN PAPUA KE DEPAN itu, sepertinya memberikan harapan baru, energy baru, semangat yang baru bagi orang Papua dan membawa orang Papua untuk bermimpi tentang Indonesia, bermimpi orang Papua di dalam Indonesia, mimpi 100 tahun di dalam Indonesia, mimpi 100 tahun lagi orang Papua menjadi Presiden.

Atau bisa jadi buku ini sindiran tentang mimpi sampai 100 tahun pun perjuangan keadilan, persamaan derajat, hak asasi manusia di tanah Papua tidak akan tercapai? Dan mungkin kerinduan dan harapan orang Papua untuk merdeka secara politik mungkinkah hanya mimpi? Atau hal-hal yang lain mungkin hanya mimpi (ini hanya pemikiran subjektif saja), tetapi yang benar mungkin seperti yang dibayangkan mas Purwanto. Atau bagaimana dengan pendapat yang lain???????

Entahlah, maksud Purwanto 100 tahun itu di mulai dari tahun terbit bukunya atau sejak otonomi khusus digulirkan buku ini tidak memberi detlain waktu 100 tahun yang dimaksudkannya tentang masa depan orang Papua dan tanahnya di dalam Indonesia. Tetapi hanya memberi judul 100 Tahun Papua Ke Depan.

Buku ini cukup menarik perhatian banyak orang, selain dua buku lain yang menarik perhatian yang sama khususnya dari penulis-penulis dari luar Papua tentang Papua yaitu Papua Road Map karangan Muridan W.S,Dkk (LIPI,2009) dan Hebo Papua Karangan, Amirudin Al Rahap (2010).

Namun kepada mas Purwanto, dkk lain khususnya penulis dan pemerhati Papua dari luar Papua perlu di apresiasi, karena tidak banyak anak Papua yang mau menulis tentang diri mereka, sehingga banyak orang luar Papua yang menulis tentang Papua. Dalam konteks ini Purwanto bagian dari orang yang ikut memikirkan Papua, maka perlu dihargai dan dihormati intelektualnya.

Namun kami sebagai anak negeri, setidaknya mencoba membeda dari apa yang ditulis oleh teman-teman, sahabat-sahabat terbaik ini, agar ada cek and balance dalam setiap penulisan buku tentang Papua, tetapi juga saya ingin belajar untuk melihat Papua dari perspektif sebagai anak adat tentang Papua dan mau menjelaskan sedikit tentang Papua, dengan perbandingan tulisan-tulisan yang ada.

Buku 100 TAHUN PAPUA KE DEPAN sangat berbeda ketika dibandingkan dengan buku Papua Road Map (LIPI,2009), Atau Hebo Papua (Amirudin Al Rahap,2010). Menurut saya ke dua buku itu, sangat obyektif dan berani mengungkapkan kebenaran proses sejarah di masa lalu, masa kini dan bagaimana rekontruksi Papua ke masa depan. Apakah Indonesia sanggup membuat orang Papua menjadi Indonesia atau sebaliknya suatu hari orang Papua menentukan pilihan lain. Sementara buku 100 TAHUN PAPUA KE DEPAN, adalah buku 100% Purwanto berangan-angan bahwa Papua di dalam Indonesia sampa 100 tahun ke depan, karena itu isinya pun mendukung pandangannya tentang Papua di dalam Indonesia. Sedikitpun tidak disentil solusi penyelesaian yang ditawarkan oleh Muridan,dkk atau dalam buku Amirudin Al Rahap yang mendorong agar Proposal LIPI tentang empat hal yang diangkat LIPI di bawah ke dalam meja DIALOG.

Selain itu juga buku ini cocok dibaca oleh para birokrat yang bekerja di Papua entah di provinsi atau kabupaten/kota sebagai buah pemikiran dalam pembangunan yang dijalankan oleh para pemimpin dalam pemerintahan NKRI di Papua. Karena dalam bab 6, 7 dan 8 misalnya Purwanto banyak mengulas tentang bagaimana membangun Papua di dalam Otonomi Khusus Papua atau titik berat masa depan Papua yang dibayangkan Purwanto ditulis disini.

Sementara bagian pertama dari buku ini berbicara soal nama pulau Papua dari Papua New Guinea, Irian Barat, Irian Jaya dan Kini papua. Secara politik Papua kemudian dibagi dua Provinsi yaitu Papua & Papua Barat. Sejak Papua berada di dalam Kontrol Indonesia Papua terus mengalami perubahan Nama Papua. Nama Pulau Irian Barat (Seokarno) menjadi Irian Jaya sejak 1967 (Soeharto) dan Papua, diberikan oleh Gus Dur sejak 2000. Besok apalagi??????

Nama Irian dijelaskan disini berdasarkan pemahaman orang Biak, Serui dan Merauke yang mempunyai makna berbeda. Menurut orang Biak melalui cerita Monarmakeri Irian artinya tanah Panas. Orang Serui menterjemahkan Tanah Air. Orang Merauke menterjemahkan bangsa utama. Irian menurut orang Biak diperkenalkan oleh Frans Kaisiepo yang meberikan arti nama Irian itu. Tetapi Arti irian dari Serui dan Merauke Purwanto tidak memunculkan tokoh siapa yang bertenggungjawab menterjemahkan arti irian itu seperti yang dijelaskan purwanto.

Sementara dalam buku ini juga menjelaskan bahwa orang Arab meberi nama Irian Jaya yang artinya telanjang (Apa benar????). intinya dari nama Irian itu fersi Indonesia dan nama Papua itu versi orang Barat tetapi ada juga yang mengatakan nama Papua itu berasal dari bahasa Melayu yang merujuk kepada orang yang berabut keriting dan berkulit hitam. Lalu mengapa dua nama saja yang secara politis terus dipersoalkan sementara pemberian nama dari orang Cina misalnya Jangi atau Tungki tidak sama sekali dipersolakan, artinya apa? Atau mengapa nama Papua tidak diberikan Jangi atau Tungki atau nama lain??????

Baik nama Irian maupun Papua dugunakan lebih pada kepentingan politik dan politisasi ke dua nama tersebut. Keputusan politik tahun 1961 waktu pembentukan Dewan New Guinea Raad Tanah ini diberi nama Papua Barat bukan Irian Barat atau Irian Jaya, Negaranya: Negara Republik Papua Barat (versi Indonesia Negara Boneka Buatan Belanda).

Sedangkan Irian Barat, Irian Jaya adalah salah satu Provinsi dari Indonesia (part of Indonesia province) yang artinya nama itu ada sejak Indonesia control wilayah ini. Karena itu keberadaan dua nama ini mengadung nilai Politis Baik Papua maupun Irian Jaya. Karena mengandung nilai politik itu maka kedua nama ini diberi oleh Indonesia sendiri di mana Irian Barat (Soekarno), Irian Jaya (Soeharto), Papua (Gus Dur). Artinya tiga nama Pulau Papua itu diberikan oleh Pemimpin Indonesia (Presiden RI 1,2 dan 4).

Irian arti yang sesungguhnya adalah Ikut Republik Indonesia Anti Nederland hasil kreasi dan ciptaan Bung Soekarno (Sang Proklamator RI). Soekarno sebagai pemipin revolusi Indonesia, ia mempunyai cita-cita untuk mewujudkan Indonesia Raya dari Sabang sampai ke wilayah-wilayah Pasifik Selatan dan juga ingin menguasai Malaysia dan sekitarnya, sesuai dengan pengalaman kekuasaan kerajaan masa lalu (Sriwijaya, Majapahit,dsb). Jadi pengertian Irian menurut orang Biak, Serui dan Merauke posisinya ada di mana????. Tiga wilayah ini melegitimate hasil kreasi nama Irian oleh Bungkarno atau????? Nama Irian dan Papua kedua nama pulau ini masih dijadikan atau di politisasi sampai hari ini, sampai kapan akan berakhir, kita tunggu episode berikutnya.

Nama yang elegant bermartabat dan sesuai dengan letak geografis pulau Papua sebenarnya harus disebut PAPUA BARAT, meskipun nama ini juga bukan pemberian orang asli Papua, tetapi secara geografis sesunguhnya WEST PAPAPU NEW GUINEA, atau WEST PAPUA saja.

Secara politik wilayah Papua ini, kemudian dibagi dua Provinsi oleh Indonesia. Yang disebut Provinsi Papua itu terletak di bagian timur, Ibu Kota Jayapura dan Papua Barat di bagian barat ibu Kota Manokwari.

Menurut Amirudin (2010), tujuan dari Pemaksaan Pemekaran yang menodai UU Otonomi khusus No.21 Tahun 2001 itu untuk meredam aspirasi Papua Merdeka, atau kalau terjadi Referendum maka dua provinsi yang akan melaksanakan referendum. Namun Amirudin mengatakan bahwa pelaksanaan pemekaran itu sudah terlambat karena nasionalisme Papua Barat sudah terbangun dengan sangat rapih dan kokoh.

Dan bagian 2 dari buku ini berbicara tentang hubungan bangsa Papua dengan bangsa lain di dunia seperti hubungan dengan India, Cina, Kerajaan-Kerjaan di Indonesia, Portugis, Spanyol, dan Belanda.

Bab 3 berbicara tentang pengaruh Islam, Kesultanan Tidore, Kerajaan Majapahit, dsb. Dalam pandangan orang Papua, Kontak dengan Islam (khususnya di Fak-fak, Waigeo, Salawati, dan sekitarnya) dan bangsa Cina (peninggalannya jelas di Serui, Biak dan sekitarnya), Spanyol (berdasarkan pemberian nama Papua New Guinea), Belanda (menguasai tanah Papua) dan Kerajaan Tidore dalam konteks penyebaran Islam dan huubunngan dagang sangat jelas. Pengaruh Majapahit sepertinya belum pernah diceritakan oleh orang Papua, tidak ada bukti kuat sampai saat ini. Demikian juga Hubungan dengan India, namun itupun diulasnya pada bagian ini.

Bagian 4 berbicara Papua di dalam Indonesia dan kebijakan dan strategi Pembangunan dan pemekaran untuk Papua yang tidak pernah terealisasi di era orde baru, namun saat ini tumbuh bagaikan jamur di Indonesia maupun di Papua. Dalam bab ini juga berbicara tentang sepak terjang perjuangan rakyat Papua melawan Indonesia melalui dua lembaga politik yaitu OPM dan PDP. Sementara PDP mendapat dukungan yang kuat dari rakyat tetapi kemudian karena PDP tidak bisa bekerja lagi maka ia dinilai tidak mempunyai strategi yang baik karena SDMnya yang kurang menurut Purwanto. Kemudian orang-orangnya di dalam PDP juga dinilai bahwa mereka adalah kaki tangan NKRI. Kemudian juga dibahas perlawanan TNI/POLRI dan warga pendatang terhadap aksi-aksi OPM atau warga biasa dengan isu Islam dan Kristen. Dalam bab ini dikritisi juga bagaimana militer Indonesia menjadikan Papua dalam dua perspektif yaitu perlawanan dalam konteks melawan separatism, tetapi juga menjadikan Papua sebagai lahan bisnis di dalam konflik-konflik yang terjadi antara militer dan OPM atau (juga diciptakan). Atau perebutan lahan antara TNI dan POLRI sering terjadi konflik diantara mereka di Papua. Kemudian Generasi baru (pemuda Papua) muncul lebih radikal dalam memperjuangan keadilan, perdamaian dan hak asasi manusia di Papua.

Bab 5 membahas tentang pelanggaran HAM, Papua di dalam orde baru ke reformasi, serta kehadiran Freeport dan pelanggaran HAM, kekayaan alam yang dijadikan lahan bisnis, dsb. Tidak menunjukan data-data yang falit. Tetapi juga perjuangan orang Papua masih dianggap sebagai perjuangan rakyat yang bersifat mistik, bahwa perjuangan rakyat Papua adalah perjuangan berdasarkan kepercayaan agama suku seperti di Biak ada manarmakeri, di Wamena ada nabelan kabelan, di Timika HAI dan agama suku lain di Papua. Seperti dipulau Jawa juga ada kepercayaan tentang RATU ADIL, baik RATU ADIL di Jawa maupun KEPERCAYAAN AGAMA SUKU di Papua sama-sama tidak memberi harapan kemerdeakaan. Misalnya Indonesia dari Penjajahan Belanda oleh Ratu Adil atau Kemerdekaan Papua dari Indonesia oleh kepercayaan Manarmakeri atau Nabelan-Kabelan. Namun ada salah pengertian disini khusus pada nubuatan Nabelan Kabelan dalam kepercayaan orang Lani. Orang Lani menterjemahkan nabelan kabelan bukan pada konteks perjuangan rakyat dewasa ini, tetapi nabelan kabelan adalah sebuah penantian yang dinubuatkan dalam kepercayaan orang Lani bahwa suatu ketika orang kulit putih (orang barat) akan datang membawah misi kebenaran dan itu telah digenapi oleh Misionari di wilayah pedalaman pada umumnya di daerah orang Lani tetapi juga khusus pada orang Lani di Wilayah yang kini menjadi Kabupaten Lani Jaya Misionaris masuk sejak 1956 yang artinya telah menggenapi NABELAN KABELAN atau hal itu diyakini sebagai penggenapan nubuatan kedatangan orang kulit putih membawa kabar baik. Jadi sama sekali tidak ada hubungan dengan perjuangan rakyat Papua saat ini. Perjuangan rakyat Papua dalam penegakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, penegahkan martabat manusia, kesamaan derajat adalah satu persoalan yang berbeda.(Lihat: Kiloner Wenda &Pares L.Wenda,2009 dan Zolner, 2008)

Bagian 6,7,8 berbicara soal masa depan Papua di dalam OTONOMI KHUSUS, kelemahan, kelebihan, keungan, dan strategi pelaksanaan OTONOMI KHUSUS yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah yang belum dapat dilaksanakan (mungkin semacam pemikiran untuk memberi masukan kepada pemerintah). Termasuk regulasi yang harus dibuat oleh pemerintah untuk menopang pelaksanaan OTONOMI KHUSUS yang tidal luput dari perhatiannya.

Bagian 9 memberikan pemikiran tentang solusi bagi penanganan separatism, kemudian di dalam bab ini Purwanto mengatakan bahwa akar persoalan Papua adalah sumber daya alam (pandangan ini sangat berbeda dengan Pandangan orang Papua bahwa akar masalah Papua bukan SDA tetapi status sejarah Papua di dalam Indonesia), orang Papua melihat SDA sebaga ekses dari persoalan STATUS POLITIK PAPUA, kemudian juga sedikit mengulas tentang ketegangan antar umat beragama di Papua, dsb.

Bagian 10 berbicara tentang suara hati warga Papua, entah suara hati dari siapa? Tetapi Purwanto menganggap apa yang ditulis di dalamnya adalah suara hati orang Papua. Menurutnya pada bagian ini disarikan dari berbagai macam disuksi yang dilakukannya, kemungkinan dengan berbagai komponen masyarakat terutama pemangku kekuasaan di Papua.

Bagian 11 akhir dari buku ini mengulas tentang perjuangan sang Jendral Panglima Tertinggi di dalam jajaran militer Papua Kelly Kwalik. Padangan saya tulisan akhir ini adalah bentuk penghormatan terakhir dan kenangan untuk perjuangan Kelly tentang Papua “M”.

Purwanto menulisnya dalam perspektif atau cara pandang Indonesia, dia belum mencoba menjadikan dirinya bagian dari masalah orang Papua, atau posisi dia antara Indonesia yang sedang dijajah Belanda dan dia dalam posisi dijajah. Tetapi Purwanto berbicara dari sudut pandang orang merdeka, (free man) tanpa tekanan dari sudut manapun, apalagi dalam kapasitas Purwanto sebagai pengamat intelijen, dan kapasitas lain yang dimilikinya sebagai warga Negara Indonesia.

ATAU PURWANTO MISALKAN MENJADIKAN DIRINYA SEBAGAI SEORANG FRANSZ FANON SEORANG KARIBIA BERKEBANGSAAN PRANCIS. DIMANA ORANG INI MELIHAT KETIDAKADILAN NEGARANYA (PRANCIS) TERHADAP BANGSA ALJAZAIR, BANGSA ALJAZAIR KETIKA DI JAJAH PRANCIS KALA ITU, ORANG-ORANG YANG DIJAJAH TERUTAMA PEJUANG-PEJUANG KEMERDEKAAN YANG DIPENJARAHKAN, MEREKA SEMUA MENGALAMI GANGGUAN MENTAL ATAU GANGGUAN JIWA, FRANZ FANON SEBAGAI SEORANG DR.PSIKOLOG MELIHAT KONDISI INI HATINYA TERSENTU, SEHINGGA IA MEMILIH BERGABUNG DENGAN PEJUANG ALJAZAIR DAN MEMERDEKAKAN WILAYAH ITU DARI PRANCIS. SEMOGA….!!!!

Buku ini masih berbicara dari satu sisi dalam perspektif bagaimana orang Papua di Indonesiakan. 100 tahun misalnya Papua merdeka nasip mereka seperti apa tidak dikemukakan disini, karena pandangan Purwanto tentang Papua di dalam Indonesia sudah final?

Sementara penelitian Foker ELSHAM Papua menunjukan dalam kurun waktu 27 tahun (2003-2030) ke masa depan orang Papua bisa menjadi minoritas. Pada tahun 2003 pertumbuhan orang Papua asli 48%, non Papua 52% dari total sensus penduduk Papua pada tahun 2003. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk yang demikian, diprediksi pada tahun 2030 jumlah penduduk asli Papua 1,67% dibanding non Papua 10,5%. (Lihat: Septer Manufandu. Makalah Seminar Otonomi khusus Papua Mei 27-28,2010 Hotel Niko Jakarta ).

Penelitian Yeal University (April,2004) dalam kesimpulan mereka menyebutkan:
“Sejak Indonesia menguasai Papua Barat, orang Papua Barat mengalami penderitaan yang sangat mengerikan di tangan pemerintah. Militer Indonesia dan pasukan keamanan telah terlibat dalam kekerasan dan pembunuhan di luar hukum di Papua Barat. Mereka telah melakukan tindakan penyiksaan terhadap laki-laki dan perempuan Papua dengan cara penghilangan nyawa, pemerkosaan, dan kekerasan seksual, sehingga menyebabkan luka serius dan membahayakan jiwa mereka. Penguasaan secara sistematis eksploitasi terhadap sumber daya alam, kerusakan lingkungan, wajib (dan sering tidak terkompensasi) tenaga kerja, program transmigrasi, dan pemaksaan relokasi daerah telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang luas dengan maskud menghancurkan adat istiadat mereka, dan menyebabkan penyakit yang meluas, kekurangan gizi, dan kematian bagi masyarakat Papua Barat. Tindakan seperti itu, secara keseluruhan, tampaknya merupakan pengenapan perencanaan sistematis yang diperhitungkan untuk membawa orang Papua Barat kepada kehancuran/genosida. Banyak dari aksi-aksi, secara individu dan kolektif, jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah hukum internasional. Selanjutnya, di mata orang Papua Indonesia adalah Penjajah. Dalam analisis akhir, apakah jumlah tindakan yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap orang Papua Barat naik ke tingkat genosida ternyata…. Jelas, beberapa pelaku genosida tidak meninggalkan catatan yang jelas tentang maksud mirip dengan laporan eksplisit Hitler niat jahat untuk menghancurkan orang-orang Yahudi atau pemerintah Rwanda Hutu. Pemerintah hati-hati membuat perencanaan untuk menyingkirkan wilayah Rwanda dari semua etnis Tutsi. Biasanya, tujuan genosida itu harus disimpulkan dari tindakan para pelaku genosida. Disertai dengan bukti-bukti kekerasan dan kesaksian dari para korban. Dalam kasus Papua Barat, apapun kesimpulan tersebut harus tetap tentatif diberi kesulitan dalam pengumpulan data kualitatif atau kuantitatif komprehensif mengenai pelanggaran hak asasi manusia Indonesia di Papua Barat, dulu dan sekarang. Namun, bukti-bukti historis dan kontemporer yang dijelaskan di atas sangat menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan perbuatan terlarang dengan tujuan untuk menghancurkan orang Papua Barat seperti itu, atau telah melanggar Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida”.

Penelitian Sydney University (2005) menunjukan berbagaimacam pelanggaran yang dilakukan sejak control Indonesia terhadap tanah Papua. Mulai dari Ilegal loging, bisnis militer, setiap tindakan kekerasan selalu menyalahkan kepada kelompok pro-kemerdekaan, rekrutmen dan pelatihan milisi, memasok sejanta illegal, prostitusi dan penyebaran HIV/AIDS, pelanggaran HAM dan lainnya, semua itu dilakukan dengan tujuan genosida. Itulah yang ditulis dalam buku mereka di bawa judul Genocide in West Papua? The role of the Indonesian state apparatus and a current needs assessment of the Papuan people.

Socratez Sofyan Yoman (2007), pada tahun 1969 jumlah penduduk PNG 600.000 jiwa. Pada tahun yang sama jumlah penduduk Papua 800.000 jiwa. Pada tahun 2007 jumlah penduduk PNG estimasi 6 juta jiwa. Jumlah penduduk Papua 2,6 juta jiwa. (lihat: BPS Provinsi Papua untuk Jumlah Penduduk Papua tahun 2005).

Berdasarkan data sensus 2005 itu pertumbuhan penduduk orang Papua antara (1969-2007) atau dalam kurun waktu 38 tahun pertumbuhan penduduk Papua 0,5% per tahun Dan ketika diproyeksikan jumlah penduduk 2007-2016 atau dalam kurun waktu 10 tahun ke depan pertumbuhan penduduk diperkirakan 2.732.600 jiwa. Atau kalau pertumbuhan penduduk ingin lebih cepat dibutuhkan waktu 14 tahun maka pada tahun 2021 penduduk Papua kira-kira bisa mencapai 5.465.200 jiwa dalam konteks orang asli Papua (pertumbuhan alami), no migration, atau pertumbuhan penduduk social, walaupun data di atas termasuk non-Papuan.

Tahun 1969 Penduduk PNG 600.000 jiwa. Sensus penduduk tahun 2000 menunjukan jumlah penduduk PNG mencapai 5.190.783 jiwa. Penduduk PNG pada tahun 2009 diestmate mencapai 6.732.000.

Pertumbuhan penduduk selama 31 tahun (1969-2000) di PGN dalam persentase menunjukan 2,5%. Sementara Pertumbuhan penduduk di Papua selama 38 tahun (1969-2007) menunjukan 0,5%. Jika disimpulkan sesuai dengan standar Internasional menunjukan bahwa petumbuhan penduduk di suatu daerah di bawah 1% digolongan pertumbuhan yang sangat rendah. Kemudian antara 1%-2% menunjukan pertumbuhan sedang dan pertumbuhan di atas 2% digolongkan tinggi. Dengan demikian dalam kurun waktu 38 tahun penduduk Papua telah terjadi kekurangan jumlah penduduk. Sementara di PNG terjadi pertumbuhan penduduk tinggi.(Amir Syarifuddin,dkk, 2000).

Sementara seorang futuris terkenal seperti John Naisbitt (2008) mengatakan masa depan tertanam di masa kini. Apa yang terjadi masa kini di Papua, orang bicara kegagalan otonomi khusus, genosida, pelanggaran HAM, dsb, apakah 100 tahun kedepan bisakah orang Papua menjadi Presiden? Barnabasa Suebu juga pernah bermimpi bahwa suatu ketika orang Papua bisa menjadi RI satu di mana orang itu tidak diukur berdasarkan warnah kulit, perbedaan agama, dsb tetapi berdasarkan watak, karakter, dan intelektual yang dimiliknya (Barnabas,2004) tetapi apakah itu bisa terjadi? Sementara orang Sumatera berusaha menjadi RI 1, orang Kalimatan belum menjadi presiden, orang Ambon belum menjadi presiden, orang Bali belum menjadi presiden, orang NTT & NTB belum menjadi president Indonesia???

Obama bisa mencapai posisi puncak saat ini, dalam suatu proses perjuangan panjang. Orang kulit hitam Amerika membutuhkan waktu ± 232 tahun (sejak 1776-2008) atau sejak emansipasi kesamaan derajat yang dipelopori oleh Abraham Lincoln 146 tahun lalu atau sejak 22 September 1862. (Gardon Kerr,2009; Donald C. White,Jr,2009). Emansipasi yang diperjuangkan oleh Abraham Lincoln itu ternyata belum berfungsi dengan baik, sehingga penerusnya Pastor.Marthin Luther King,Jr berjuang 53 tahun silam sejak 1955-2008. (Simon Sebag Montefiro,2008). Melalui proses perjuangan yang panjang itulah, kemudian mereka bisa menjadi presiden Negara adidaya tersebut. Namun perlu dicatat disini bahwa orang Indian asli Amerika belum menjadi Presiden Amerika bahkan mereka menjadi minoritas diatas tanah leluhur mereka sampai hari ini. Orang Aborigin masih berjuang untuk menjadi perdana menteri Australia. Orang Maury di New Zeland masih berjuang untuk menjadi Perdana Menteri NZ. Sementara orang PNG sudah menjadi Perdana Menteri di tanah airnya sendiri. Orang Vanuatu dapat menjadi perdana menteri sendiri walaupun dalam kabinet Negara itu kebanyakan adalah warga keturunan India yang dibuang pada zaman Kolonial Inggris. Namun negeri ini tidak diatur lagi oleh Inggris atau Negara koloni manapun di dunia ini.

Inggris merupakan Negara koloni terbesar di dunia tetapi juga Negara yang sangat menghormati hak-hak pribumi. Banyak daerah koloninya yang dilepaskannya dan memerdekakannya meskipun melalui suatu perjuangan yang panjang tetapi kemudian membangun hubungan baik dengan mereka dalam jangka panjang seperti India, Hongkong, Australia, PNG, Amerika dan lain sebagainya. Atau Australia misalnya memberi kemerdekaan kepada PNG pada tahun 1975 walaupun masih ada hubungan dalam konteks Negara-negara commonwealth. Lalu bagaimana dengan Indonesia dan Papua???? Bisakah Indonesia seperti Australia? Inggris? Ameriaka terhadap Philipine, Panama, atau dari Negara Kolononi kepada Negara-negara jajahan di Afrika, Asia atau Negara-negara di Kawasan Pasifik??? Semua berpulang kepada kebijaksanaan dengan ketulusan hati dari Indonesia kepada rakyat Papua atau sebaliknya…..?????

Dalam konteks inipun tidak dibahas dalam buku ini, atau mungkin bisa bernasip seperti Timor Leste, atau lebih terhormat lagi Indonesia sebagai Negara Demokrasi Muslim terbesar ke tiga di dunia setelah India dan USA (lihat:Dinno Patti Jallal, 2008) di mana Dinno mengatakan Indonesia unggul dan berbeda dengan Negara Islam lainnya di dunia. Dimana ada Negara Islam yang sangat Islami tetapi dalam tahap pembangunan kehidupan demokrasinya sangat minim. Ada Negara yang sangat Islamic dan sangat modern namun belum mempunyai nilai demokrasi atau sangat minim. Dan sangat sedikit negara yang memiliki ketiganya. Namun di Indonesia mempunyai tiganya yaitu Islam, Moderenism and democracy.

Artinya dalam pemikiran subyektif saya apabila Indonesia berfikir moderat dengan memberikan otonomi khusus ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan baik Indonesia maupun Papua ketika ia diterjemhakan menjadi Indonesia, namun Indonesia berfikir lebih ekstrim lagi dengan memberikan pilihan seperti Inggris yang memutuskan memberikan Negara persekmakmuran atau independen penuh terhadap negeri jajahannya. Atau Australia memberikan kemerdekaan penuh kepada PNG 1975. Atau sebagai Negara Islam, Modernism, dan democrasi dan memberikan ruang demokrasi untuk menentukan pilihan rakyat Papua, tetap bersama Indonesia atau keluar dari Indonesia. Karena sampai saat ini orang Papua memahami dengan sangat baik bahwa PEPERA 1969 adalah pepera yang cacat hukum. Dalam konteks inipun tidak dibahas dalam buku ini, namun buku ini dibahas dalam konteks Papua dalam lingkaran RI.

Pekerjaan win-win solution yg dilakukan Indonesia menurut saya adalah masalah Tim-Tim. Meskipun ada pengorbanan yang berat untuk itu. Baik pihak TIM-TIM maupun pihak Indonesia. Namun rakyat berhasil menentukan hak pilihnya. Itulah demokrasi yang sangat elegan menurut saya. Dalam konteks yang lain Indonesia Negara Islam terbesar di dunia berhasil menore sejarah di Tim-Tim dan masyarakat Internasional tidak akan dan tidak akan pernah melupakan proses sejarah itu, menurut hemat saya Indonesia salah satu Negara Islam di dunia yang memberikan kebebasan penuh kepada suku bangsa lain yang ada di bawah controlnya memberikan ruang untuk menentukan pilihan.

Betapa indah dan elegan mendengar kata-kata seperti itu.

Harapannya silakan mengeksplor Buku ini atau kita menunggu
“wa wa wa wa wa wa wa wa”.









Referensi
1. Brundige, Elizabeth, At All. April,2004. Indonesia Human Right Abuses in West Papua: Application of the Law Genocide to the History of Indonesian Control.A paper prepared for the Indonesia Human Rights Network.The Allard K.Lowenstein International Human Rights Clinic Yale Law School.
2. Djalal, Dino Patti,Dr,2008. Harus Bisa, Seni Memimpin ala SBY.Red & White Publishing, Indonesia.
3. Kerr, Gardon,2009. Leader Who Changed the World. Omnipress, India.
4. Manufandu, Septer. Seminar: Manfaat Otonomi khusus Bagi Rakyat Papua. Mei 27-28,2010. FORKOM Papua, Hotel Niko Jakarta.
5. Montefiore, S.Sebag, 2007. Pidoto-Pidato Yang Mengubah Dunia.Sesensi Erlangga Group, Jakarta.
6. Naisbitt, John, 2008. Mind Set! Tata Pola Pikir Anda Untuk Membaca Peluang Bisnis Masa Depan & Menuai Profit. Daras Books, Jakarta.
7. Purwanto H, Wawan. April 2010, Papua 100 Tahun Ke Depan. CBMpress, Jakarta.
8. L.Wenda, Pares, 2010. Diskusi Buku Hebo Papua, Perang Rahasia Trauma dan Separatisme, bersama penulis buku A.A.Rahab via Email.
9. Rahab Al, Amirudin. January 2010, Hebo Papua, Perang Rahasia Trauma dan Separatisme. Komunitas Bambu.Jakarta.
10. Suebu,Barnabas, 28 Juni 2004. Masa Depan Indonesia. Di Lemhannas Executive Club, Jakarta.
11. Amir Syarifuddin, Drs. Sri Sudarmi, Dra. Usmaini, Dra, 2000,Geografi I, Yudhistira Jakarta.
12. . Wenda, Kiloner dan L.Wenda, Pares, dkk, 2009. Sejarah Gereja Baptis Papua Barat. Gramedia, Jakarta.
13. Wing, John With King,Peter. August, 2005. Genocide in West Papua? The Role of the Indonesian State apparatus and a current needs assessment of the Papuan People. A report prepared for the West Papua Project at the Center for Peace and Conflict Studies, University of Sydney, and ELSAHM Jayapura.
14. White Ronald, C, Jr 2009. A Biografhy A.Lincoln.Rondom House, New York.
15. Yoman, Socratez Sofyan, 2007. Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Galang Press. Yogyakarta.
16. Zöllner, Siegfried. Budaya Papua dalam Transisi: Ancaman Akibat Moderenisasi Jawanisasi dan Diskriminasi. The Evanggelical Church in the Rhineland. Bekerja sama dengan The Evangelical Church of Westphlia. The World Council of Churches. United Evangelical Mission. Misereor GKI di Tanah Papua. West Papua Netzwerk. Editor: Dr. Theodor Rathgember,2006.
17. http://en.wikipedia.org/wiki/Papua_New_Guinea (update 5/8/2010).
18. http://id.wikipedia.org/wiki/Frantz_Fanon (update 1/8/2010).
19. http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/w/wawan-purwanto/biografi/02.shtml (update, 9/8/2010)

Selasa, 01 Juni 2010

demokrasi kerakyatan

Demokrasi Kerakyatan

Sejarah Singkat Partisipasi Individu dalam Masyarakat
Sebelum kita dapat mendisikusikan tentang sebuah bentuk demokrasi, yang benar-benar memberikan kesempatan untuk semua anggota masyarakat terlibat di dalamnya dan kemudian juga sekaligus menegakkannya, paling tidak kita mencoba memahami bagaimana partisipasi anggota masyarakat berkembang hingga sekarang.
Demokrasi dikatakan Abraham Lincoln: "Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Pernyataan ini memang sangat terbuka, dalam arti orang bisa terjebak dalam perdebatan untuk mengartikan siapa itu rakyat. Ataupun, justru kalimat ini menutupi kenyataan yang sebenarnya. Dalam kenyataannya, pada saat Lincoln mengatakan hal itu, demokrasi tak lebih sebuah klaim atas keseluruhan masyarakat. Sementara Lincoln mempromosikan emansipasi kaum kulit hitam, ia sendiri adalah wakil dari elemen masyarakat yang memiliki kendali atas alat-alat pemenuhan hajat hidup mayoritas rakyat (pabrik-pabrik dan perkebunan). Apakah para budak kulit hitam yang "diemansipasikan" kemudian memiliki kendali atas pabrik-pabrik? Apakah para buruh pada saat itu memiliki hak yang sama dengan para manajer dan pemilik saham dalam menentukan kerja di dalam sebuah pabrik?
Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah penentu keberadaan manusia di dunia ini.
Demokrasi Yunani, Demokrasi Para Pemilik Budak
Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan dalam Athena, dan polis-polis lainnya di Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan).
Masyarakat Athena dan polis-polis lainnya adalah masyarakat yang terlibat dalam persaingan-persaingan ekonomi yang kemudian melahirkan konflik-konflik bersenjata. Kenyataan sejarah seperti inilah yang mengkondisikan pembentukan sebuah organisasi masyarakat yang bernama polis itu sendiri, di mana segala persoalan-persoalan publik dibicarakan dalam forum-forum yang melibatkan anggota masyarakat. Bentuk seperti ini akan menjamin tersedianya angkatan perang untuk membela kota mereka ataupun menyerang kota lain.
Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli daerah tengah perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun, harga-harga tanah melambung tinggi dan para tuan tanah menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil produksi dan sudah barang pasti mereka menggunakan posisi dominan mereka untuk meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin yang tinggal dipinggiran dan untuk menambah perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan Romawi dijalankan atas dasar dan prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara kota (polis dalam bahasa Yunani ) bersatu untuk menghadapi Negara kota lainnya, tapi sebenarnya terbelah didalam dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum: antara wargakota dan budak.
Pada awalnya wargakota yang miskin (mereka disebut Plebeian dalam bahasa Romawi ) sama sekali tidak memiliki hak-hak politik. Perjuangan mereka adalah perjuangan politik, perjuangan untuk meraih posisi yang dapat penentu kebijaksanaan di negara-kota mereka. Kemenangan demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini terjadi setelah warga negara kota yang miskin mampu memenangkan perang laut di Salamis melawan orang persia yang ingin merebut kota itu. Meskipun mereka terlalu miskin untuk mempersenjatai diri mereka sendiri, mereka menyediakan pendayung-pendayung yang handal kepada Armada Laut Athena. Sebuah persatuan yang rapuh telah tebentuk antara warga negara yang kaya dan yang miskin melalui ekspansi keluar dan penaklukan budak-budak. Kemudian penduduk yang miskin tidak terlalu tertekan, karena orang-orang kaya memiliki cadangan tenaga kerja.
Tapi Demokrasi Athena –Demokrasi untuk warga kota – berbasiskan pada eksploitasi terhadap kaum-kaum non warga kota: yaitu para budak yang tidak memiliki hak-hak politik. Demokrasi Athena sebenarnya adalah sebuah mekanisme untuk memaksakan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa kepada kaum-kaum yang tertindas dan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa di dalam perang.
Negara berpihak kepada kaum yang berkuasa, struktur masyarakat berdiri di atas kerja kaum budak –semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya dan filsafat dapat terjadi karena kerja keras budak yang dieksploitasi, hal ini menyebabkan para pemilik budak memiliki banyak waktu untuk istirahat, masyarakat kemudian berkembang.
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa demokrasi model Yunani, demokrasi bagi minoritas untuk menundukkan mayoritas bukanlah demokrasi yang sejati.
Kekuasaan Tirani
Dalam perkembangan masyarakat manusia, telah berulang kali bagian terbesar masyarakat dipaksa untuk tunduk baik secara kesadaran maupun karena penggunaan alat-alat kekerasan seperti senjata. Tak jarang penggunaan kekerasan sebagai alat pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat memang bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.
Sering kali, ketika kita melihat sebuah tirani kita hanya terfokus pada satu orang diktator, seorang tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya sang Tiran tersebut, ia hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok minoritas yang ingin mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat.
Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius Caesar adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan tameng merah sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa Barat. Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti. Tapi apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya para legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi yang tak terkalahkan itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai ataupun memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar berkuasa atas dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia (tuan-tuan tanah dan pemilik budak) Romawi. Tanpa perluasan teritorial yang kemudian menghasilkan pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang. Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan besar) pun akan kesulitan memperkaya diri karena mereka akan selalu membutuhkan budak-budak untuk mengerjakan colonate mereka.
Gubernur-gubernur jendral Hindia Belanda juga memiliki latar belakang yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala tentara untuk menaklukan perlawanan-perlawanan reaksioner dan sia-sia para bangsawan Jawa dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan pajak kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan, apakah para prajurit “londo” dan setengah “londo”? Jelas bukan, mereka adalah justru orang-orang yang dipaksa secara ekonomi menjadi prajurit di tanah air mereka. Pendukung kebijakan-kebijakan para gubernur jendral adalah para pemilik (perampas tanah) perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan ataupun negara induk mereka. Gubernur Jendral Hindia Belanda adalah wakil dari minoritas masyarakat Belanda, para bangsawan dan pemilik modal.
Ketika Soeharto berkuasa, apakah Soeharto sendirian dalam merebut kepresidenan dari Soekarno? Jangan lupakan peranan Nasution dan jendral-jendral lainnya yang merebut kursi kepemimpinan MPRS! Jangan lupakan “jasa” para komandan-komandan wilayah militer yang melancarkan jalan Soeharto dengan membantai ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI serta memenjarakan jutaan lainnya!
Apakah tidak adanya tiran-tiran ini lalu masyarakatnya menjadi demokratis? Jangan lupa, mereka adalah penampakkan nyata dari minoritas masyarakat yang menginginkan hak-hak khusus dan kekayaan pribadi. Seorang tiran dapat muncul dan pergi, dapat diganti-ganti, tapi ketika ada minoritas masyarakat yang ingin memaksakan kehendak mereka dengan kemudian menindas mayoritas masyarakat, maka tidak dapat negara itu dikatakan demokratis. Kekuasaan tirani adalah wujud kasar kekuasaan minoritas di atas mayoritas.

Kritik atas Demokrasi Liberal dan Demokrasi Indonesia Sekarang
Ketika kita mendengar kata demokrasi, sebagian besar kita akan menghubungkannya dengan pemilu dan parlemen. Dan ini juga tampaknya menjadi kesadaran mayoritas rakyat, bahwa demokrasi hanyalah ada di pemilu dan parlemen. Bahwa mereka boleh berdemokrasi hanya di pemilu dan parlemen. Tak heran setiap kali pemilu di Indonesia selama 32 tahun represi rejim Soeharto, maka gegap gempita rakyat menyambutnya. Saat itulah rakyat bisa ikut campur ke dalam DPR melalui partai-partai yang bisa menawarkan janji perbaikan hidup. Terlepas dari adanya maksud-maksud dalam pendanaan kemeriahan tersebut, gegap gempita rakyat Indonesia menghadapi pemilu bukanlah sesuatu yang berdasar hanya pada bayaran. Lebih jauh daripada itu, itulah ekspresi kebebasan mereka setelah dalam kehidupan normal mereka selalu diwarnai oleh represi militeristik dari institusi-institusi militer dan sipil pendukung Orde Baru.
Namun ketika kita pertanyakan: Apakah Rejim Orde Baru demokratis? Tentu saja jawabannya tidak. Dari pengalaman Indonesia, kitapun sudah tahu bahwa adanya pemilu dan parlementer bukanlah jaminan tegaknya demokrasi. Seorang demokrat liberal akan berteriak, “Tapi itu karena adanya Orde Baru!”
Kenyataan Lemahnya Kontrol Rakyat
Setelah Soeharto tumbang oleh desakan modal dan masyarakat, pada 7 Juni 1999 diadakan Pemilu multipartai pertama semenjak penggabungan partai-partai di 1970an. Tak kurang 100 partai politik berdiri, mendaftar sebagai kontestan pemilu. Hanya 48 partai yang lolos kualifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kampanye, partai-partai lama berhasil melakukan penggalangan-penggalangan massa, menebar janji-janji, dan membagi-bagi uang untuk membeli suara rakyat. Rakyat Indonesia begitu percaya bahwa partai-partai besar ini akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan rakyat.
Setelah Pemilu, masuklah masa persidangan MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, plus remeh temeh kenegaraan lainnya. Namun inilah yang membuktikan bahwa parlemen dan pemilu bukanlah sarana demokrasi untuk rakyat. Di sinilah bukti bahwa wakil-wakil “rakyat” di parlemen akan selalu memiliki kemungkinan untuk berkhianat kepada massa pendukungnya. Dan Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan 2000 dan sidang-sidang DPR terbukti bukanlah sidang untuk kepentingan rakyat. Sidang-sidang itu adalah sidang-sidang untuk membicarakan kepentingan kaum penguasa dan mengeluarkan produk hukum untuk membela kaum penguasa dan memaksakan kehendak minoritas kepada mayoritas.
Dan jika kita melihat negara-negara yang mengedepankan liberalisme, hal yang berbeda secara teknik namun sama pada intinya juga terjadi. Kebijakan-kebijakan peperangan yang menghabiskan pajak untuk persenjataan bukan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat justru terjadi pada negara-negara liberal. Dan justru kebijakan-kebijakan tersebut disahkan oleh lembaga perwakilan rakyat mereka.
Akan tetapi memang tak aneh jika parlemen hanya memperhatikan kaum yang berkuasa secara ekonomi dan politik. Asal-usul parlemen di Eropa adalah sidang para pembayar pajak. “Tak ada pajak tanpa perwakilan!” teriak para bangsawan Inggris yang perlahan telah berubah menjadi kaum merkantilis (pedagang). Dipimpin Oliver Crommwell, mereka memenggal Raja Charles I, mendirikan Republik Inggris, dan di dalamnya sebuah sistem parlemen yang anggotanya adalah para tuan tanah dan pedagang kaya. Hal yang sama terjadi di revolusi Perancis, meski dengan intervensi rakyat pekerja yang lebih besar. Anggota Konvensi (parlemen hasil revolusi) hanyalah kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah baru. Tidak ada para hamba dan petani penggarap, yang sebenarnya menjadi motor utama revolusi tersebut. Dan bentuk dan isi parlemen seperti ini masih dipergunakan di seluruh negara yang mengusung nama demokrasi.
Dengan bentuk seperti ini, parlemen apapun yang akan dipilih oleh pemilu sebersih-bersihnya, pastilah hanya akan membela kaum penguasa ekonomi dan politik, pastilah hanya mementingkan minoritas di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat. Artinya, kontrol rakyat terhadap berjalannya negara sangatlah lemah.
Pemerintah dan Masyarakat
Ketika desakan untuk terlibat dalam politik dari kaum pekerja Eropa terhadap para penguasa negeri-negeri mereka semakin mendekati garis revolusi, hak untuk ikut memilih wakil dalam parlemen, membentuk partai-partai politik, dan berorganisasi diberikan. Ilusi yang ingin dibuat adalah rakyat berperan dalam penentuan kebijakan negara. Bahkan dalam abad 20 ini, seorang buruh ataupun petanipun dapat masuk ke dalam parlemen. Partai-partai buruh diperbolehkan untuk ikut pemilu dan masuk parlemen. Lalu apakah kemudian ini sudah demokratis?
Contoh Indonesia dapat menjelaskan hubungan pemilu, parlemen, dan pemerintah. Tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur resmi menjadi kepala pemerintahan. Di parlemen, kursi-kursi mulai didominasi oleh kaum reformis, baik yang asli ataupun yang gadungan. Namun, apakah negara Indonesia saat ini akan tunduk kepada mayoritas rakyatnya? Meskipun rakyat kemudian bisa masuk ke dalam parlemen, selama birokrasi yang ada tidak dibubarkan maka kekuasaan rakyat menjadi dagelan populisme belaka. Kabinet di masa tahun 1950an datang dan berganti, anggota parlemen bisa diubah-ubah oleh pemilu, tapi apakah kepolisian, angkatan bersenjata, kehakiman, kejaksaan, departemen-departemen, dan pemda-pemda menjadi demokratis dan tunduk pada kontrol masyarakat? Jawabannya jelas tidak. Mereka memang diisolasikan dari awal dari pengaruh pemilu dan intervensi konstitusional masyarakat lainnya. Kalaupun ada demokratisasi di birokrasi seperti pemilihan kepala desa, kepala desa tersebut haruslah tunduk kepada camat dan bupati yang semuanya dididik oleh pendidikan birokrat dan selalu menjadi birokrat, pelaksana negara yang tidak dikontrol langsung oleh masyarakat yang ia perintah.
Ketika kita amati metode rekrutmen pegawai negeri, contohnya, kita lihat untuk menjadi pegawai yunior dalam sebuah kementrian, harus melalui sebuah ujian. Aturan ini tampaknya sangat demokratik. Tetapi, tidak semua orang dapat mengikuti ujian apapun untuk tingkat manapun. Ujian untuk menjadi pegawai yunior sebuah biro kecil pemerintahan tidak sama dengan ujian untuk posisi sekretaris jendral sebuah kementrian atau kepala staf tentara. Selintas, ini juga kelihatan normal-normal saja.
Tapi, sebuah tapi yang besar, ujian-ujian ini memiliki tingkat-tingkat yang memberikan ujian-ujian tersebut sifat selektif. Anda harus punya gelar tertentu, anda harus sudah mengambil kursus-kursus tertentu, untuk dapat mengambil posisi-posisi tertentu, khususnya posisi-posisi penting. Sistem seperti itu akan menyisihkan sejumlah besar orang yang tidak dapat mengikuti pendidikan tinggi ataupun setingkatnya, karena kesempatan yang sama untuk pendidikan sebenarnya tidak ada. Kalaupun ujian pegawai negeri terlihat demokratis di permukaan, ia juga sebuah instrumen yang selektif yang hanya akan menerima orang-orang yang tunduk kepada penguasa atau berasal dari kaum penguasa itu sendiri.
Setelah kita lihat awal dan hasil dari parlemen dan pemilu, dapatlah terlihat dengan nyata di hadapan kita: Tak satupun negara demokrasi liberal ataupun liberal malu-malu seperti Indonesia yang demokratis, tunduk kepada kehendak mayoritas masyarakat. Negara-negara tersebut justru kemudian menjadi alat pemaksa kehendak minoritas terhadap mayoritas.
Penindasan oleh Si Kuat atas Si Lemah
Kita tidak dapat berbicara demokrasi hanya sebatas untuk urusan politik belaka, urusan menentukan kebijakan negara saja. Namun kita harus jauh lebih dalam, ke dalam keseharian kehidupan masyarakat kita. Tidak demokratisnya demokrasi liberal, bukan terletak hanya sebatas pada parlemen, tetapi justru terletak di pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, rumah-rumah, pasar-pasar, keluarga-keluarga dalam masyarakat kita.
Kehidupan sehari-hari masyarakat adalah perjuangan anggota-anggota masyarakat sebagai sebuah kesatuan dalam memperoleh kebutuhan sehari-harinya. Artinya, dasar adanya masyarakat adalah pemenuhan ekonomi, dengan kata lain urusan perut. Tetapi ini tidak sesempit urusan perut belaka, justru hubungan-hubungan yang terjadi antar manusia dalam memenuhi urusan perut itulah yang mendirikan masyarakat.
Tidak demokratisnya masyarakat, penindasan minoritas terhadap mayoritas, justru terlihat di dalam pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar-pasar, dan tempat-tempat mencari nafkah lainnya. Di dalam sebuah perusahaan, yang menentukan saat bekerja, saat istirahat, saat berlibur, perencanaan produksi, perencanaan penjualan, dan yang paling penting pembagian upah, adalah pemilik perusahaan yang pada prinsipnya tidak melibatkan partisipasi kaum buruh. Kalaupun ada pelibatan, biasanya berupa konsesi (sogokan kecil dan sementara) ketika posisi sosial dan politik kaum buruh sedang menguat, misalnya dalam keadaan gelombang pemogokkan besar-besaran. Namun begitu posisi buruh melemah, maka para pimpinan perusahaan (tentu saja mereka adalah para pemilik modal) langsung mencabut konsesi tersebut dan mengkonsumsi seluruh keuntungan yang diperoleh perusahaan. Padahal, seluruh keuntungan itu tak akan ada tanpa adanya kerja kaum buruh.

Demokrasi Kerakyatan
Lalu demokrasi seperti apakah yang akan membawa manusia ke dalam kemakmuran dan kesejahteraan bersama? Seperti apakah demokrasi yang benar-benar manusiawi?
Pertama, demokrasi baru ini haruslah menjadi jawaban atas segala pertentangan-pertentangan yang ada di dalam masyarakat yang ada. Ia harus menjadi alat keseluruhan masyarakat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk segelintir minoritas masyarakat. Ia harus tidak lagi memisahkan pemenuhan kebutuhan masyarakat (ekonomi) dengan pengaturan dalam masyarakat itu sendiri (politik) dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri (sosial). Tidak ada lagi pemisahan antara negara dan masyarakat, artinya tidak ada anggota masyarakat yang terus menerus kerjanya hanya menjadi aparat negara (tentara dan birokrat), akan tetapi semua anggota masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan negara dan berkesempatan yang sama serta bergiliran dalam menjalankan fungsi-fungsi aparat negara.
Kedua, demokrasi ini haruslah menjadi perwujudan kehendak sejati mayoritas anggota masyarakat (secara ekonomi, sosial, dan politik), didasarkan atas kesetaraan posisi dan kerja tiap anggota masyarakat (tidak ada lagi penghargaan berlebihan terhadap kerja mental dan kerja manual, tetapi menghargai usaha, kemampuan, dan kebutuhan tiap individu), dan haruslah melahirkan sebuah hubungan antar manusia yang bekerja sama saling menguntungkan sebagai satu kesatuan (kolektif).
Ketiga, segala hasil keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi itu sendiri, harus secara disiplin dijalankan oleh semua anggota masyarakat. Minoritas yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut boleh tetap beradu argumen dengan mayoritas lainnya, tetapi mereka harus dengan disiplin dan tanggung jawab menjalankan keputusan yang mereka tentang itu. Perbedaan pendapat yang mereka lakukan boleh mereka propagandakan sebagai bahan pembicaraan dalam proses pengambilan keputusan berikutnya.
Singkat kata, demokrasi jenis baru ini adalah demokrasi yang benar-benar melibatkan seluruh anggota masyarakat secara utuh dan nyata (tidak hanya di atas proklamasi-proklamasi yang indah-indah), yang benar-benar proses keseharian dalam hidup seluruh anggota masyarakat, dan direncanakan sekaligus dijalankan dengan kedisiplinan oleh seluruh rakyat. Karenanya dapat dikatakan sebagai Demokrasi Kerakyatan.
Partisipasi Semua Individu
Dalam mewujudkan dirinya, demokrasi kerakyatan harus dijalankan dengan prinsip partisipasi aktif setiap individu. Siapapun yang ingin memastikan terjadinya demokrasi kerakyatan harus memastikan adanya kesempatan dan kemauan untuk setiap individu berpartisipasi aktif. Karenanya, negara yang melandaskan dirinya kepada demokrasi kerakyatan haruslah memiliki ciri sebagai berikut.
Pertama, tidak memisahkan dengan jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Lembaga-lembaga yang dibutuhkan adalah yang dapat membuat hukum sekaligus menegakkannya. Singkatnya, masyarakat di setiap tempat kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi. Ini sangat penting, sebagai jalan terbaik untuk mengurangi sebanyak mungkin ruang-ruang kosong antara kekuasaan nyata, yang semakin terkonsentrasi pada lembaga permanen (kepolisian, pemerintahan daerah, dan sebagainya), dengan kekuasaan fiktif yang tersisa pada dewan-dewan (parlemen). Kekosongan ini adalah ciri dari demokrasi liberal. Tidak akan cukup hanya mengganti musyawarah semu dengan musyawarah yang lain, jika tidak satupun yang berubah mengenai kekuasaan kosong ini. Dewan-dewan ini haruslah memiliki kekuasaan eksekutif
Kedua, jabatan-jabatan publik harus dipilih langsung, sampai tingkat setinggi-tingginya. Tidak hanya anggota dari dewan yang dipilih. Hakim, pejabat tinggi, perwira milisi, pengawas pendidikan, manajer pekerjaan umum, harus juga dipilih. Tentu saja akan sangat mengejutkan untuk negara seperti Indonesia. Tapi pada negara demokrasi liberal tertentu, AS, Swiss, Kanada, ataupun Australia, telah memakai pemilihan langsung pada sejumlah peran-peran publik. Di AS, serif dipilih oleh sesama warganya. Dalam demokrasi kerakyatan, pemilihan pejabat publik harus juga dibarengi dengan hak untuk menarik kembali pada semua kasus, misalnya menurunkan pejabat yang tidak memuaskan setiap saat.
Lalu, kendali permanen dan ketat atas penjalanan peran-peran negara harus dilakukan, dan pemisahan antara yang menjalankan kekuasaan negara dan masyarakat yang diatasnamakan dalam kekuasaan tersebut, dibuat sekecil mungkin. Itulah sebabnya diperlukan kepastian pergantian secara konstan dari pejabat terpilih, untuk mencegah orang memegang jabatan secara permanen. Penjalanan peran negara, dalam skala luas, harus dilakukan secara bergantian oleh warga secara keseluruhan.
Lenyapnya Diskriminasi dan Penghargaan Atas Kesetaraan Antar Manusia
Untuk menjamin dirinya tak lagi membiarkan penindasan yang kuat terhadap yang lemah, dalam menjalankan prosesnya demokrasi kerakyatan harus menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ide-ide diskriminatif yang didasarkan kelamin, suku bangsa, ataupun cacat tubuh. Untuk itu, sebagai tahap pertama, negara harus melindungi kaum-kaum yang selama ini didiskriminasi oleh sistem penindasan yang ada. Dan ide-ide rasis, seksis, dan yang merendahkan orang-orang cacat harus dilarang.
Kedua, kesetaraan juga harus terjadi dalam proses penjalanan fungsi negara. Tidak ada gaji yang sangat tinggi. Tak satupun pejabat, anggota dewan perwakilan dan legislatif, individu yang menjalankan sebuah kekuasaan negara, menerima pendapatan yang lebih tinggi dari pendapatan pekerja terlatih. Inilah satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mencegah orang dari mencari jabatan sebagai cara untuk memperkaya diri dan menghisap dari masyarakat, dan tentunya satu-satunya cara untuk menyingkirkan pemburu karir dan parasit yang ada pada mesyarakat sebelumnya.
Kesetaraan yang dimaksud di sini bukanlah yang hanya diakui oleh hukum saja, tetapi didorong oleh fasilitas-fasilitas negara. Untuk menjamin arah kesetaraan ini, negara harus memprioritaskan kebijakan-kebijakannya kepada penyediaan lapangan pekerjaan bagi seluruh anggota masyarakat, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumsi minimum, dan penyediaan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dapur bersama, transportasi massal, binatu swalayan, penitipan bayi, dan tempat-tempat rekreasi di setiap wilayah tinggal yang dibangun dan kemudian dikelola bersama oleh masyarakat di wilayah tersebut. Dan yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan pendidikan.
Ketika kebutuhan pangannya terpenuhi, tak seorangpun akan terpaksa menjajakan tenaganya kepada orang lain dan kesempatan untuk membeli tenaga (mempekerjakan) orang lain akan relatif kecil. Namun ini juga harus diikuti dengan kewajiban setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, maka tiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan kerjanya di dalam masyarakat. Salah satu alat diskriminasi saat ini adalah pendidikan yang telah diperoleh seseorang. Kesempatan yang sama dalam pendidikan juga akan membuat ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi dimonopoli oleh sebagian kecil masyarakat, tetapi menjadi milik masyarakat dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
Mayoritas Di Atas Minoritas
Hal yang paling prinsip dalam menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap menjaga demokrasi sebagai alat kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk semua orang, namun perwujudan yang paling logis dari seluruh masyarakat adalah bagian mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita dapat lihat bahwa dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh) disetarakan dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup di dalam gedung parlemen.
Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak dan kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja, tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah minoritas.
Namun, demi menjamin kesalahan seperti itu, kebebasan pendapat dan berekspresi harus dijamin, selama kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menipu dan menindas mayoritas rakyat ataupun menghancurkan kekuasaan mayoritas. Tentu saja pelarangan tersebut dan pengadilan terhadap pelanggarannya juga harus melalui permusyawaratan-permusyawaratan rakyat.
Kesadaran Masyarakat Baru, Kepentingan Bersama Di Atas Kepentingan Pribadi
Setiap anggota masyarakat saat ini bertindak dan berpikir secara individual, hanya tentang diri mereka sendiri dan sebatas untuk diri mereka sendiri. Ini disebabkan oleh kerja-kerja mereka dapat dilakukan secara individu dan ketegangan yang sangat tinggi dari persaingan untuk bertahan hidup. Konflik-konflik sosial yang horisontal selalu terjadi antara dua kepentingan individual yang berbeda. Tapi harus dipahami juga, bahwa mayoritas masyarakat masih sebenarnya bekerja dalam sebuah kekolektifan, yang sudah jauh lebih modern dari kolektivitas “gotong royong”. Di dalam pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan telah terbukti bahwa kerja-kerja dalam group (“teamwork”) baik dalam unit-unit yang kecil maupun unit-unit yang besar mampu mendongkrak produktivitas. Tetapi mereka masih direpresi dan dikecoh oleh ideologi-ideologi usang dan kolot seperti demi kepentingan bangsa, kesatuan dan persatuan, kebajikan relijius, dan beban-beban parasit masyarakat seperti hubungan keluarga tradisional pedesaan.
Namun, inilah landasan berdirinya Demokrasi Kerakyatan: Kolektivisme untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Dari mulai urusan pembersihan lingkungan sampai penyediaan taman kanak-kanak, dari kerja-kerja di dalam pabrik-pabrik sampai berhubungan dengan dunia internasional.
Kolektivisme membuat semua orang menyerahkan segala kemampuan mereka untuk masyarakat dan mendapatkan segala kebutuhan mereka dari masyarakat. Demi kemajuan masyarakat, anggota-anggota masyarakat harus menyumbangkan kerja-kerja sukarela yang diarahkan oleh negara untuk membangun fasilitas-fasilitas umum yang akan mereka gunakan dan kelola bersama. Kerja-kerja sukarela inilah yang nantinya merubah masyarakat dan memperdalam kolektivisme tadi, sehingga posisi kepentingan bersama di atas kepentingan individu bukan sekadar slogan tetapi juga kenyataan dan kesadaran masyarakat.

Dewan Rakyat, pewujud Demokrasi Kerakyatan
Kita telah bicara tentang bermacam-macam bentuk demokrasi, tentang perubahan masyarakat, dan tentang demokrasi kerakyatan. Tapi bagaimana mewujudkannya? Apa alatnya? Apakah kita bisa memakai struktur negara yang ada sekarang?
Untuk menjawabnya kita harus membuka kepala kita, singkirkan semua pemahaman-pemahaman kolot dan kuno tentang masyarakat dan negara, lihatlah kenyataan di sekitar kita yang selalu diwarnai oleh penderitaan dan pemaksaan kehendak, dan pikirkan logika yang ditawarkan oleh demokrasi kerakyatan.
Pertama, perubahan bentuk demokrasi ini membutuhkan sebuah pengorganisasian masyarakat, terutama bagian mayoritas yang selalu dipaksa oleh minoritas penguasa negara dan modal.
Kedua, perubahan bentuk demokrasi ini adalah perubahan yang revolusioner sekaligus evolusioner. Pada saat awal pertumbuhannya, proses pendidikannya kepada massa rakyat, dan pengorganisasiannya akan berkembang secara evolusioner dalam pertambahan jumlah massa aktif, terdidik dan terorganisasi. Namun di saat-saat tertentu ia akan berlipat ganda seperti jamur di musim hujan, dan dengan segera, bahkan terkesan dengan sangat mendadak, menjadi kekuatan yang dapat menjadi alat mayoritas rakyat untuk mewujudkan demokrasi sesejati-sejatinya.
Perwakilan dan Partisipasi
Kenyataan saat ini di mana jumlah anggota masyarakat luar biasa besar, ratusan juta, membuat sulit untuk melibatkan semuanya langsung dalam proses permusyawaratan. Sama dengan demokrasi liberal, demokrasi kerakyatan juga menggunakan perwakilan untuk permusyawaratan yang akan menentukan hajat sebuah masyarakat. Namun perwakilan ini tidak boleh mengalahkan prinsip partisipasi penuh dan aktif setiap anggota masyarakat dalam mengatur dan mengarahkan kerja-kerja pemenuhan kebutuhan masyarakat. Di dalam Demokrasi Kerakyatan, permusyawaratan terkecil adalah fondasinya. Permusyawaratan terkecil adalah wujud dari demokrasi langsung, dimana partisipasi aktif setiap anggota masyarakat terfasilitasi. Ini berbeda dengan konsep perwakilan demokrasi liberal di mana demokrasi langsung lebih bermakna pemilihan dan pemungutan suara tanpa permusyawaratan yang sebenarnya.
Para wakil-wakil rakyat dalam Demokrasi Kerakyatan adalah orang-orang yang bertanggung jawab kepada massa di bawahnya, sehingga bila ia tidak dapat menjalankan amanat yang diberikan oleh yang memilihnya, ia bisa setiap saat digantikan oleh masyarakat yang memilihnya.
Wakil-wakil masyarakat inilah yang menjalankan fungsi-fungsi negara, terutama dalam mengkoordinasikan anggota-anggota masyarakat lainnya dalam kerja-kerja sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh anggota masyarakat secara kolektif, yaitu kesamaan kebutuhan-kebutuhan secara individu.
Pengorganisasian masyarakat yang menggunakan permusyawaratan langsung dan permusyawaratan perwakilan inilah adalah wujud negara dan masyarakat yang kembali dipersatukan, keduanya menjadi tidak berbeda dengan jelas. Negara adalah masyarakat dan masyarakat adalah negara. Dan organisasi para pelaksana fungsi-fungsi negara ini sesuai dengan konsep perwakilannya kita namakan saja Dewan Rakyat.
Dewan Rakyat adalah bentuk negara yang lahir dari masyarakat yang ada sekarang. Ia harus dibangun di dalam masyarakat sekarang dan ditegakkan oleh mayoritas masyarakat. Dalam tahap-tahap awal perkembangannya, ia harus dibentuk dari komite-komite aksi rakyat yang menginginkan perubahan, ia harus bisa memasukkan massa yang lebih luas, dan ia bergerak sebagai alat perjuangan mayoritas rakyat untuk mendirikan kedaulatan mereka, kedaulatan rakyat yang sejati.
Kekuasaan Legislatif sekaligus Eksekutif
Jaminan kedua atas sifat-sifat kerakyatan dan tetap berjalannya fungsi-fungsi koordinasi masyarakat adalah digabungnya fungsi eksekutif dan legislatif dalam Dewan Rakyat. Sekali lagi, masyarakat di setiap tempat kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi.
Dalam setiap periode tertentu masyarakat mengadakan permusyawaratan, baik yang langsung di setiap tempat (lokal) kehidupan masyarakat ataupun yang perwakilan untuk mengkoordinasikan lokal-lokal dan regional-regional yang ada, untuk mengevaluasi kerja-kerja dan keadaan obyektif yang telah terjadi untuk kemudian merumuskan program kerja masyarakat ke depan: kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi, fasilitas apa saja yang harus dibangun, dan bagaimana keduanya harus dijalankan.
Setelah perencanaan masyarakat ini tuntas, maka ia harus dijalankan oleh setiap anggota masyarakat dengan pengawasan orang-orang yang dipilih, para wakil-wakil masyarakat, untuk menjamin dijalankannya rencana bersama tersebut dengan dengan ketepatan dan kedisiplinan. Tanpa adanya pengawasan sangat wajar jika orang lupa menjalankan tugas-tugasnya sehingga program-program bersama kemudian justru terbengkalai dan masyarakat juga yang merugi.

***
Dewan Rakyat dan Demokrasi Kerakyatan adalah satu hal yang tak dapat dipisahkan, seperti tak bisa dipisahkannya teori dan praktek dalam kehidupan sehari-hari kita. Adalah tugas kaum demokrat radikal untuk mengorganisasikan massa rakyat untuk membangun dewan rakyat dan sekaligus mewujudkan demokrasi sejati, demokrasi kerakyatan.

Minggu, 21 Februari 2010

20 PRINSIP PERJUANGAN PAPUA MERDEKA

Dalam upaya menuju papua merdeka penting ditempuh dengan beberapa prinsip sebagai pola perjuangan yang terhormat, bermartabat, simpatik dan bermoral seta berbobot. Dalam memperjuangkan papua merdeka patut ditempuh dengan pendekatanprinsip nilai nilai rohani, persatuan, hokum, budaya, dialog, diplomasi, negosiasi, lobi, karya ilmiah, seminar ilmiah, pendidikan, pembangunan, saling menghargai, penguasaan roda ekonomi, penguasaan tekhnologi informasi, prinsip kesabaran dan prinsip konsolidasi serta rekonsiliasi. Untuk lebih jelasnya, penulis menguraikan sebagai berikut :

1. PRINSIP ROHANI
Yang dimaksud dengan perjuangan rakyat dan bangsa papua barat untuk menuju suatu kemerdekaan di negerinya sendiri tidak identik dengan pengertian kargroisme. Pengertian perjuangan berdasarkan “prinsip rohani” adalah nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kasih dan kedamaian terus dibelenggu manusia-manusia yang angkuh dan sombong.
Yesus kristustus juga mengatakan kepada umat manusia di dunia ini. “jikalau kamu tinggal didalam aku dan firman-ku tinggal didalam kamu, minta lah apa yag kamu kehendaki dan kamu akan menerimanya” ( youanis 7.15). ini timbul pertanyaan apakah rakyat papua tinggal didalam tuhan dan mengikuti firman-nya? Jawabnya terpulang pada masing-masing pribadi, karena rohani adalah perkara individu dengan tuhan.
Bagaimana pengalaman daud dengan goliath juga menjadi refleksi renungan bagi rakyat dan bangsa papua barat. Rakyat papua barat sedang diperadapkan dengan peralatan senjata yang canggih dan ampuh. Sementara, bangsa papua memperjuangkan menuju kemerdekaan papua barat hanya dengan pendekatan kasih, damai dan dialog.
Tempat pengungsian dan pengaduhan bagi orang orang yang percaya yesus kristus bukan ke PNG, keluar Negeri dank e pengadilan manusia.orang orang percaya kepada yesus patut menguji (baca:mengharapkan) dan mengadupada yesus kristus. Yesus kristus adalah jawaban bagi mereka yang merindukan dan mencari wajah-Nya.tuhan yesus setia dan tidak perna mengecewakan bagi orang orang percaya dan mengikuti jalan-jalannya.

2. PRINSIP PERSATUAN
Prinsip persatuan dan kesatuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi rakyat dan bangsa papua barat adalah persyaratan yang sangat mendasar. Rakyat dan bangsa papua barat harus bersatu dengan menyatukan visi ke depan untuk mewujudkan missi perjuangan papua barat merdeka. Rakyat dan bangsa papua barat harus meninggalkan berbagai bentuk perbedaan seperti orang pantai dan orang pedalaman. Ideology yang harus dikembangkan dalam menyatukan persepsi adalah kita sama-sama orang papua ras Negroid, rumpun Malanesia. Hak-hak kita telah dirampas oleh bangsa-bangsa di dunia dan bangsa Indonesia.
Satukan pikiran, hati dengan menatap masa depan Papua yang Merdeka dari segala penindasan, penjajahan, penipuan, pemerasan dan berbagai bentuk kekejaman orang-orang Indonesia. Moto “bersatu kita teguh berpisah kita runtuh” patut menjadi motivasi juang dan semangat juang menuju papua baru untuk menemukan hak asasi. Jati dir, harga diri, martabat, identitas sebagai orang-orang papua yang telah sirna sejak papua di aneksasi oleh Indonesia dengan maklumat Trikora pada tanggal 19 desember 1961, Perjanjian New York 1962, penyerahan pemerintahan dari UNTEA kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 dan rekayasa PEPERA 1969.
Persatuan dan kesatuam adalah modal dasar perjuangan dan kemenangan. Orang-orang papua harus bersatu. Berbagai perbedaan baik dalam hal pendapat, mengemukakan pikiran adalah hal yang wajar dan itu adalah kekayaan bangasa dan Negara Papua barat. Perbedaan pendapat dan gagasan-gagasan itu menjadi inspirasi perjuangan dan saling memperkaya satu sama lain sesama orang-orang papua. Perbedaan-perbedaan pendapat dan ide-ide adalah perkara unik. Perbedaan adalah anuggerah dan pemberian Tuhan dan dipergunakan secara bertanggung jawab dengan saling melengkapi menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai rakyat dan bangsa papua barat, ras Negroit dan rumpun Malanesia. Papua tetap Papua. Negroid tetap Negroid. Malanesia tetap Malanesia.
Orang papua harus mengembangkan nasionalisme dan ideology seperti ini;” saya orang Papua kelahiran wamena atau saya orang papua kelahiran biak. Dan tinggalkan pemikiran bahwa saya orang wamena atau saya orang serui”. yang lazim dipakai adalah “orang pegunungan/pedalaman dan orang pesisir pantai. Pandangan orang pedalaman dan pantai harus dihilangkan. Kita sama-sama sebagai anak papua sedang berjuang untuk negeri papua yang merdeka. Bukan negeri pedalaman atau negeri pesisir pantai. Polemik pedalaman dan pantai harus dihilangkan dari kehidupan anak-anak Papua. Jika orang-orang papua mencintai papua sebagai tanah ahli waris dan kesulungan yang diberikan Tuhan dan di wariskan oleh nenek moyang berarti harus diperjuangkan dengan militansi “Ke-Papua-an” yang abadi.

3. PRINSIP HUKUM
Status papua selain ditinjau dari pendekatan politik dapat juga ditinjau dari perspektif hukum. Dalam sub bagian ini disoroti dalam konteks hukum. Status politik papua adalah masalah hukum. Karena, ada beberapa peristiwa penting yang patut mendapat perhatian dari pendekatan hokum (Law Approach). Para pembaca diharapkan merenungkan sejenak rentetan peristiwa-peristiwa di sebutkan ini. Peristiwa tertanggal 19 Desember 1961 dengan istilah TRIKORA, peritiwa Perjanjian New York 15 Agustus 1962, peristiwa tanggal 1 Mei 1963 tanggal penyerahan pemerintahan dari UNTEA kepada Indonesia, dan peristiwa puncak dengan rekayasa PEPERA 1968. Seluruh dinamika peristiwa yang disebutkan, bila ditempatkan dalam konteks hokum, akan ditemukan banyak pelanggaran dan kesalahan fatal yang bias menjadi serangan balik kepada pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa tadi.
Orang Indonesia mengatakan kepada orang papua bahwa jika orang papua kibarkan “Bintang Kejora” dan turunkan “Merah Putih” adalah perbuatan “makar” dan “separatis”. Perbuatan itu melanggar hokum, dan orang papua yang melakukan perbuatan “makar” harus diproses secara hokum dan diberikan hukuman kurungan penjara sesuai ketentuan KUHP yang berlakukan di Indonesia. Pernyataan ini sering dilontarkan oleh orang-orang Indonesia yang memiliki perangkat hukumnya.
Jika demikian orang-orang papua akan mengatakan dengan penuh pertannyaan di dalam hati mereka. Dulu di bumi papua ini [ernah berkubar benderannya orang-orang papua dengan nama bendera “Bintang Kejora” berdampingan dengan bendera Belanda “Wilhelmus” dari tanggal 1 Desember 1961 s/d 1963. Bendera itu mempunyai dasar hokum, yaitu dengan ketetapan Dewan Nieuw Guinea Raad (DPR-nya) orang papua, tahun 1961 No. 68, dan Tahun 1961 No. 70. Tetapi, orang-orang Indonesia datang ke papua dengan maklumat TRIKORA, bendera “Bintang Kejora” diturunkan dan bendera “merah Putih” dinaikan di bumi cenderawasih. Setelah mengukuti peristiwa ini timbul pertanyaan, siapa yang menurunkan bendera “Bintang Kejora” dan kibarkan “Merah Putih” di Papua Barat? Apakah itu perbuatan “makar” dan “separatisme” terhadap kedaulatan rakyat dan bangsa papua barat? Ini yang dimaksud persoalan hokum. Orang-orang tertentu akan mengatakan bahwa bahwa “de fakto” dapat dibenarkan tetapi “de jure” masih diragukan legitimasinnya. Perlu ada penyelesaian dengan pendekatan kajian yuridis formal.
Selanjutnya yang patut mendapat perhatian adalah Perjanjian New York 15 Agustus 1962. yang harus digugat dengan pendekatan hokum tentang perjanjian Perjanjian New York adalah mengapa orang asli Papua tidak dilibatkan dalam proses pembuatan Perjanjian New York? Mengapa Rakyat Papua yang pro-merdeka tidak ditetapkan nasibnya di dalam Perjanjian New York? Dari perspektif hokum ini telah melanggar hak-hak asasi manusia sehingga perlu di kaji secara utuh berdasarkan hokum-hukum internasional.
Selain Perjanjian New York 15 Agustus 1962 ditujukan dari pendekatan hokum, penting pula tinjau tanggal 1 Mei 1963 sebagai waktu penyerahan pemerintahan dari PBB atau disebut dengan UNTEA waktu itu. Berdasarkan apa UNTEA menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia untuk berkuasa selama enam tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan? Apakah berdasarkan Perjanjian New York, ataukah berdasarkan hukum internasional? Semua proses seperti ini harus di selidiki dengan seksama dengan pendekatan hukum.
Akhir dari proses kelalaian yang disebutkan ketiga pokok diatas, titik kulminasinya adalah rekayasa PEPERA 1969 yang diselengarakan 14 Juli s/d 2 Agustus 1969. Hasil PEPERA 1969 diterima dalam siding Umum PBB pada tanggal 19 Nopember 1969 dengan menerima resolusi PBB No. 2504. Orang Indonesia dalam berbagai pertemuan baik melalui media cetak dan elektronik mengatakan bahwa status papua adalah final dan Valid. Yang perlu dikaji dengan pendekatan hokum adalah dengan beberapa pertanyaan ini;
1. Mengapa PEPERA 1969 dilaksanakan dengan sistim “Musyawara” yang biasanya dipakai oleh orang Indonesia?
2. Mengapa 1.025 orang sebagai peserta PEPERA 1969 dengan suara bulat tinggal dengan Indonesia?
3. Mengapa hasil PEPERA 1969 ditolak oleh 15 negara Afrika?
4. Mengapa hasil PEPERA 1969 diterima tanpa sanggahan terbuka dan hanya dicatat di PBB?
Beberapa deretan pertanyaan ini perlu dan penting dikaji dengan pendekatan hokum. Barangkali pertanyaan lebih efektif dan lebuh tepat lagi ada selain empat pertanyaan yang telah diajukan oleh penulis.

4. PRINSIP NILAI NILAI BUDAYA
Rakyat dan bangsa papua memiliki nilai nilai budaya yang unik. Keunikan nilai budaya itu secara singkat akan digambarkan dalam uraianbagian ini. Orang orang papua tempo dulu, sebelum orang orang Indonesia datang mencaplok papua, orang papua mempunyai nilai nilai budaya yang menjadi bagian dalam hidupnya.
Tempo dulu, jika ada sesuatu barang yang jatuh di jalan, di lupahkan di kali, di lupahkan kebun, atau di tempat tempat umum, orang orang papua mengambil dan menyimpan atau mengamankan pada tempat pertama di mana benda itu jatuh. Setiap orang papua melewati tidak berani mengambil barang tersebut, jika barang itu bukan miliknya. Tetapi setelah, pemilik barang tersebut datang kemudian mengambilnya dari tempat semula. Barang yang jatuh ituwalaupun berhari hari, berminggu minggu tidak bias di ambil atau disentuh oleh orang yang bukan pemilik barang itu.
Jika orang menjemur pakaian setelah di cuci dan di jemur di halaman, di kali tanpa di awasi oleh pemilik, jika sepeda motor rusak dan parker di pinggir jalan, jika hewan piaraan seperti ayam. Babi tidak di tutup pintu kandangnya, ada sesuatu barang yang disimpan jauh dari rumah untuk di ambil sewaktu waktu dibutuhkan, selalu saja terjamin dari keamanan tanpa di awasi oleh pemilik pemiliknya
Dan juga perang suku sering terjadi di papua di bagian pedalaman papua. Perang itu sering di picu dengan dengan masalah melarikan seorang gadis secara paksa, melarikan ibu rumah tangga, masalah tanah, dan (pengambilan babi milik orang dengan dengan alas an yang jelas dan kuat). Ada tatanan nilai nilai budaya yang patut dipatuhi oleh pelaku pelaku masalah. Bila tatanan nilai budaya itu di langgar maka,terjadi perang antar suku atau klen.
Dalam perang suku, ada larangan larangan yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak yang bertikai adalah :
a). Dilarang membunuh anak kecil
b). Dilarang membunuh ibu - ibu/perempuan
c). Dilarang membunuh Orang orang tua
d). Dilarang mengambil barang barang milik lawan di medan perang;
e). Dilarang memperkosa istri atau anak perempuan dari pihak lawan.
Tidak semua nilai budaya yang di gambarkan di atas, namun demikian, beberapa ciri khas nilai budaya yang disebutkan tersebut, menyatakan bahwa orang papua mempunyai nilai nialai kebenaran, kejujuran, dengan menghargai hak hak asasi sesamanya dan menghargai kepemilikan sesame.
Sebelum orang orang Indonesia sebagai penjajah baru datang ke papua, orang papua tidak mengenal apa itu mencuri dan apa itu mabuk dan apa itu yang disebut dengan memperkosa dan lain lain.
Nilai nilai budaya dan moralitas rakyat dan bangsa papua barat telah di bina dan dipupuk baik oleh nene moyang, turun temurun. Di papua barat jarang terjadi kekejaman dan penindasan, walaupun pada waktu itu di papua di kuasai oleh orang orang belanda. Kekejaman dan kejahatan orang orang Indonesia dapat disimak sebagaimana yang di ekspresikan oleh elieser bonay, Gubernur Pertama Papua, dikutip di bawah ini.
“…secepatnya orang orang Indonesia tiba di negeri kami (papua) sama sekali sesuatu yang tidak mengharapkan mulai terjadi. Ada sejumlah kekejaman, pencurian, penculikan, penyiksaan, penganiayaan, banyak hal yang tidak perna terjadi sebelumnya” (Tapol, Buletin, No. 48, Januari 1982)
Kebiadaban bangsa Indonesia tidak bisa disembunyikan, karena orang orang Indonesia lebih professional dalam menipu dan mencuri. Hal itu telah di saksikan oleh rakyat dan bangsa papua barat, setelah orang orang Indonesia mencaplok kedaulatan papua barat dengan penyerahan secara administratif oleh UNTEA kepada Indonesia, 11 mei 1963 peristiwa itu dituliskan oleh DJOPARIsebagai berikut:
“setelah tanggal 1 mei 1963 masyarakat di kota kota jayapura, biak, manokwari dan sorong menyaksikan berbagai fasilitas untuk digunakan di Irian jaya itu diangkut ke daerah Indonesia lain dengan menggunakan transportasi yang ada apakah itu tempat tidur, kasur, mesin cuci kaca nako, wastapel, open sepeda vespa kipas angin, tangga pesawat terbang di lapangan terbang internasional mokmer biak dan dok apung di manokwari” (djorari, 1993, hal.83)
Djopari menambahkan bahwa:
“…apalagi diikuti dengan tindakan menyita rumah yang di huni oleh masyarakat dengan alas an peninggalan colonial belanda, jadi harus di serahkan kepada pemerintah yang sebenarnya bukan rumah instansi pemerintah….”(ibid.hal.83)
Sebagaimana diungkapkan elieser bonay, “ada sejumlah kekejaman, pencurian, penculikan, penyiksaan, penganiayaan banyak hal yang tidak perna terjadi sebelumnya” dan juga apa yang di soroti Djopari yang telah dikutip di atas, menandakan bahwa orang orang Indonesia datang ke papua dengan budaya pembunuh, pencuri dan penipuh serta menghancur nilai nilai budaya rakyat dan bangsa papua barat. Tidak menjadi heran, karena orang orang Indonesia Neo-kolonial atau penjajah baru terhadap rakyat dan bangsa papua barat.
Melihat dari nilai nilai budaya rakyat dan bangsa papua barat yang telah diuraikan secara singkat atas, sebaiknya menjadi pilar penopang perjuangan rakyat dan bangsa papua barat untuk mengusir penjajah dari tanah air dan negeri papua barat.Rakyat bangasa papua barat tidak perlu mencaci maki,menteror,intimidasi,terhadap orang-orang melayu yang disebut dengan orang-orang Indonesia yang ada di negeri dan tanah air papua barat.Banyak nilai budaya papua barat dikelolah secara baik dan bertanggungjawab untuk mengusir nilai-nilai budaya asing yang mulai diterapkan oleh bangsa colonial di papua ini.
Sebenernya,sangat banyak nilai-nilai budaya dan filosofihidup rakyat dan bangsa papua yang harus dikaji sabagai landasan perjuangan raakyat dan bangsa papua barat.tidak perlu adopsi budaya orang lain seperti angka senjata dan segala macam.ada peluru-peluru kendali,peluru-peluru nuklir yang terpedam dalam nilai-nilai budaya rakyat dan bangsa papua barat.nilai-nilai budaya danfilosofit hidup adalah anugrah Tuhan yang perlu dan penting dikelolah dan dilestarikan sebagai senjata-senjata cangih.

5. PRINSIP DIALOG, DIPLOMASI, NEGOSIASI, LOBI
Perjuangan dengan prinsip dialog, diplomasi, negosiasi, dan lobi hdalah prinsip pendekan penyathuan prsepsi, paradigm baru, dan penyelesaian pemsalahan dengan mengedepankan nilai-nilai manusia, hak asasi manusia, martabat dan harga diri manusa. Pendekatan penyelesaian masalah dengan prinsip-prinsip yang disebutkan dalam bagian ini, adalah perjuangan yang paling berbobot, berwibawa, bermartabat, simpatik dan bermoral. Oleh karena itu, perjuangan rakyat dan bangsa papua barat untuk menemukan jati diri serta identitas sebagai suatu bangsa yang sudah merdeka, patut mempergunekan metode-metode tersebut di atas. Dalam prinsip ini diperlukan kesiapan mental, kualitas intelektual, moral, dan profesionalisme. Dr benny Giay menegaskan bahwa:
“gerja dan masyarakat internasional selalu menganjurkan agar dialog dan perundingan-perundingan dipakai sebagai media untuk membahas dan menyelesaikan konflik” dan ditambahkan pulah “persoalan merdeka itu sangat rumit, oleh karena itu, perjuangan kedepan perlu dilakukan secara konsisten, bertahap dan terus menerus”, (Giay, 2000, hal.37).

6. PRINSIP KARYA KARYA ILMIAH
Salah satu prinsip lagi karya-karya ilmiah. Dalam karya-karya ilmiah dapat dituangkan berbagai persoalan dengan pendekatan kajian-kajian ilmiah. Kajian ilmiah adalah hak intelektual setiap orang yang terdidik dan juga hak kebebasan akademik yang tidak bias di belenggu oleh siapa pun. Perjuangan dengan kajian ilmiah adalah salah satu kekuatan yang ampuh dan dapat dipertanggunjawabkan. Kajian-kajian ilmiah tentang sejarah, biografi, peristiwa-peristiwa penting adalah kontribusi pemikiran untuk menambah wawasan para pembaca, dan juaga pemberian penguasa, mengambil keputusan untuk mengethui apa yang terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi.
Karya karya ilmiah tentang dinamika fakta sejarah papua barat saat ini sangat mendesak.para pembaca perluh di beritaukan melalui kajjian-kajian ilmiah dengan pemberitauhan yang kompeherensif tantang status papua barat secara utuh.sebagai contah,masalah tuntutan rakyat dan bangsa papua barat tidak bisa dilihat secara parsial {sepotong-sepotong},tetapi harus dilihat secara konfrensif [utuh] dari perspektif sejarah,hukum,nilai-nilai budaya,hak-hak asasi manusia,aspek ras,etnis,dan juga letak geografis.tema-tema seperti ini penting dan perluh dikaji dalam kajian-kajian ilmiah.

7. PRINSIP SEMINAR ILMIAH
Prinsip perjuangan dengan pendekatan penyelenggaraan seminar adalah salah satu metode perjuangan ilmiah yang bertanggungjawab, rasional serta logis. Dalam seminar seminar ilmiah perlu di seminarkan tema tema pokok seperti.
1. trikora 19 desember 1961.
2. Perjanjian new York 15 agustus 1962
3. 1 oktober 1963 (masa UNTEA)
4. 1 Mei 1963 (pelatihan administrasi.
5. Kontrak Kerja Pt Freeport 19 April 1967 Sebelum Pepera
6. Rekayasa PEPERA 1969.
7. Pelanggaran HAM Div Papua
8. Diskriminasi Sumber Daya Manusia Di Papua
9. Diskriminasi Dalam Jabatan Jabatan Penting Di Papua
10. Eksploitasi Sumber Daya Alam Di Papua
11. Eksploitasi Pengembangan Social Ekonomi Di Papua
12. Penyelewengan Proyek Proyek Di Papua
Tema tema utama seperti ini sebaiknya menjadi Concern (Keprihatinan) para intelektual, akademisi, cendekiawan, praktisi hokum, aktivis LSM, Politikus, TAPOL-NAPOL, dan OPM dalam berbagai forum regional, nasional, dan internasional. Seminar seminar ilmiah ini dengan tujuan membanguin ideology dan Nasionalismerakyat dan bangsaa papua barat. Dengan metode metode ini akan di tumbuh kembangkan militasi ke papua an dan terus berjuang untuk mencapai kemerdekaan yang sudah lama di perjuangkan baik melalui aksi diplomasi, dialog, maupun aksi OPM di hutan hitan.
Prinsip perjuangan dengan pola seminar adalah perjuangan dengan perdebatan argumentative yang sangat relevan dalam era dewasa ini. Rakyat dan bangsa papua barat harus menunjukkan martabat dan harga diri serta identitasnya dengan menunjukkan kemampuan intelektual dalam perdebatan tema tema di atas dalam forum forum ilmiah dalam berbagai strata.

8. PRINSIP PENDIDIKAN
Dr.B.S. Sidjabat dalam bukunya: strategi pendidikan Kristen mengatakan bahwa :
“Pendidikan merupakan usaha sadar tujuan untuk memperlengkapi individu maupun kelompok, agar mereka bertumbuh dengan baik menujuh kedewasaan pribadi seutuhnya”
( sidjabat, ANDI Yogyakarta,1996.hal.155).
Sidjabat menegaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar tujuan melengkapi orang supaya menjadi dewasa dalam segala aspek hidup manusia sehingga dalam kontes upaya memperjuangkan aspirasi rakyat dan bangsa papua barat untuk merdeka, salah satu pinsip perjuangan yang harus di perhatikan adalah pendidikan. Pendidikan harus di selenggarakan dalam berbagai strata dan tingkatan, yang paling penting adalah peningkatan kwalitas sumber daya manusia dalam berbagai aspek. Rakyat dan bangsa papua harus di siapkan secara baik terprogram, terarah, terpadu dan berkesinambungan baik segi kognitif, afektif, motorik, maksudnya, semua komponen rakyat papua disiapkan dari segi rohani, mental, intelektual, etika, kletrampilan, (skiil), dan profesionalisme dan andal untuk ,memperjuangkan kemerdekaan papua barat. Karena sumber daya manusia adalah factor utama dalam roda pembangunan suatu bangsa. Dalam hal manusia sebagai factor utama, emil h. tambunan, MA dalam bukunya: kunci menuju sukses dalam manajemen dan kepemimpinan menegaskan bahwa:
Factor manusia merupakan pokok utamadalam segala memajakan organisasi dan untuk mencapai tujuan proktivitas.tentang manusia ialahast utama yang amat potensial. Kuatas yang dimilikimerupakan salah satu factor yang akan menentukan keberhasilan organisasi atau perusahaanmencapai tujuan “[Tambunan badung ,1991
Sebagimanan yang dikemukakan Tambunan tersebut ,yang lebih penting adalah pendidikan untuk membangun sumber daya manusia yang handal .dengan menanamkan ideology dan nasionalisme sebagai rakyatdan bangsa papua barat melalui pprosespendidikan yang wajar.maksudnya . dalam keluarga sekolah ,perkumpulan perkumlan semua orang papua baik dari anak kecil sampai pada usia dewasa diajarkan lagu kebangsaanpapua “Hai tanaku papua “dan memperkenalkan secara sungguh sungguh tentang bendera kembangsaan” bintang kejora “dan nilai nilai budaya rakyat dan bangsa papua dalam konteks papuasendiri percaya atau tidak ,lima tahun ke depan semangat dan jiwa nasionalisme “ke -papua-an “tidak bias diuntuhkan dengan berbagian bujuk-rayu oleh bangsa colonial.

9. PRINSIP KEPEMIMPINAN
Perjuangan dengan prinsip kepemimpinanadalah hal yang sangat mendasar.karena untuk menwujudkan suatu perjuangan diperlukan prinsip menajerial yang baik teratutur.prinsip manajerial mencakup organisasi kerja ,pendelegasian tugas ,kekompakan kerja prinsip kepemimpinan lain adalah rela menerima masukan ,saran dan kritik .prinsip kepemimpinan juga dari segi kualifikasi pendidikan yang memadai sebagai pilarpenopang perjuangan pemimpinjuga harus memiliki sifat keterbukaan dalam kegagalan adalah maupun juga kesuksesan.pemimpin harus menyadari bahwa kegagalan adalah kegagalan kita bersama dan keberhasilan yang diraih sebagai kesuksesan kita bersama .ciri cirri ini patut dipedomani oleh pejuang-pejuang orang papua .perkara lain yang patut pendapat perhatiandari prinsip kemimpinan adalah mempunyai kerelaanuntuk diganti jika dikehendaki oleh rakyat dan bangsa papua barat .perjuangan untuk menuju papua merdeka harus di organisirdengan baik melalui suatu mekanisme kerja yang transparan

10. PRINSIP PEMBANGUNAN
Prinsip perjungan dengan pendekatan pembangunan adalah salah satu aspek penting dalam perjuangan ,pembangunan memiliki arti yang sangat luas .pembangunan dari aspek manusia yaitu pningkatan sumber daya manusiaadalah sebagai perkara yang utama, peningkatan kwalitas ibu ibu supaya melahirkan anak anak yang sehat, kuat sebagai generasi penerus. Optimalisasi potensi potensi rakyat dan rakyat papua yang berada di birokrast, politikus, akademisi, politisi, aktivis, petani, nelayan, peternak dan pengusaha, itusemua yang di maksut dengan pembangunan.
Selain hal pokok yang telah di sebutkan, pembangunan secara fisik perlu di terima dan di dukung oleh rakyat dan bangsa papua barat, semua sarana dan fasilitas yang sudah sedang dan akan disiapkan oleh pemerintah adalah milik rakyat dan bangsa papua barat dan akan di nikmati oleh rakyat papua pula. Sarana transportasi jalan yang di bangun, jembantan disiapkan, sarana sarana umum yang lain disediakan pemerintah Indonesia patut di sambut dengan baik.. itu sermua akan menjadi fasilitas perjuangan menuju papua merdeka dan itu juga menjadi asset rakyat dan bangsa papua selamanya setelah rakyat dan bangsa papua barat mewujutkan kerinduan dan pergumulan sebagai bangsa yang merdeka.
Jangan lupa bahwa pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bukan sebagai alat penawar dan peredam aspirasi papua merdeka. Karena, pembangunan di lakukan oleh pemerintah adalah hak asasi, tanggungjawab asasi, dan kewajiban asasi bangsa Indonesia. Sedangkan, p[erjuangan menuju pqapua merdeka adalah hak asasi, tanggungjawab asasi, dan kjewajiban asasi bangsa papua barat sebagai manufestasi ideology dan nasionalisme yang sudah di bangun sejak tahun 1940-an. Otonomi khususnya juga sebagai pilihan pemerintah dan juga kemauan pemerintah Indonesia. Sementara aspirasi rakyat dan bangsa papua barat belum mendapatkan jawaban dari pemerintah Indonesia maupun dunia internasional. Pembangunan dan otonomi khusus tidak identik dengan meredam aspirasi papua merdeka.

11. PRINSIP SALING MENGHARGAI
Prinsip perjuangan dengan pendekatan “saling menghargai” adalah bagian dari nilai universal yang berlaku umum. Prinsip saling menghargai berada pada setiap suku, ras, etnis, bangsa dan Negara. Orang kafir dan kejam sekalipun merindukan suatu penghargaan dari orang lain. Rakyat dan bangsa papua barat patut menghargai eksistensi saudara – saudara non –papuayang berada di tanah papua untuk hidup bersama kita. yang perluh kita waspadai adalah orang orang datang dengan misi-misi khusus di papua barat ini. Rakyat dan bangsa papua barat juga perlu menghargai eksistensi pemerintah Indonesia yang sedang bangun di papua ini. Perjuangan-perjuangan untuk meneghakan nilai nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kasih dan kedamaian di bumi papua barat harus di perjuangkan dengan pendekatan saling menghargai.

12. PRINSIP PENGUASA RODA PEREKONOMIAN
Prinsip lain yang penting dan perlu di kuasai dalam memperjuangkan menuju papua merdeka adalah penguasaan roda perekonomian di papua barat. Penguasaan roda perekonomian di papua adalah salah satu prinsip perjuangan yang ampuh. Orang papua memiliki tokoh, bengkel, pasar pasar, premeublank, pertanian, peternakan, perikanan, pengolahan sagu, pengolahan pinang, memiliki rumah rumah makan, memiliki sarana transportasi seperti mobil- mobil perau mesin, adalah modal dasar menuju kemerdekaan bangsa papua barat.
Tetapi, orang papua sendiri yang menjadi bodoh di negerinya sendiri. Kebodohannya terbukti dengan contoh ini. Orang papua bawah sagu, pinang dari kebun menjual kepada orang orang non- papua. Selanjutnya orang orang non papua mengelolah dengan baik dan hasil olahan itu di beli oleh orang orang papua dengan hasil jualan sagu dan pinang tersebut.contoh lain adalah orang orang papua membawah pisang dan ubi dari kebun dan jual kepada orang orang pedagang dan orang orang non-papua membeli dan mengelolah pisang itu menjadi “pisang goring atau ubi goring” dan orang orang papua membeli pisang goring itu dengan uang hasil jualan pisang atau ubi tersebut. Ini tindakan yang paling bodoh. Jikalau cara demikian bagimana menguasai roda perekonomian dan mendukung papua merdeka? Rakyat dan bangsa papua barat harus mengubah paradigm ini.
Selain sagu, pinang, pisang dan ubi di jual, tanah tanah di papua sebagai ahli waris dan hak kesulungan yang sudah di berikan oleh tuhan untuk rakyat dan bangsa papua barat di jual habis habisan. Rakyat dan bangsa papua barat berlaku bodoh seperti “esau” yang menjual hak kesulungannya kepada “yakup” untuk menukar “Roti Dan Kacang Merah” rakyat dan bangsa papua barat berjuang untuk merdeka tetapi hak kesulungan dan berkat berkat seperti tanah sebagai anuhgera allah ditolak dengan cara menjualnya. Tanah adalah bagian dari hidup manusia yang perlu di jaga dan dikelola dengan baik. Supaya tanah dan negeri papua ini di berkati oleh tuhan.
Hal penting lain yang perlu di perhatikan adalah hasil hasil hutan, kayu kayu, rotan-rotan yang ada di negeri papua ini perlu dilindungi oleh rakyat dan bangsa papua barat sebagai ahli warisnya. Semua itu harus di jaga, dikelola dengan baik dan mencari pemasaran pemasaran kedunia internasional. Tetapi, realita yang ada di tanah papua adalah di kuasai oleh orang orang non papua dan hasil hasil rotan dan kayu itu di jaul kepada orang orang papua.rakyat dan bangsa papua barat di harapkan melindungi hutan, lautan, tanah yang ada di negeri papua barat ini sebagai anuhgera tuhan.

13. PRINSIP PENGUASA TEHNOLOGI INFORMASI
“menguasai teknologi komunikasi berarti sama dengan menguasai seluruh dunia”. pernyataan ini bisah dikatakan benar benar dan tidak dari sudut kepentingan dan pemahaman masing masing individu. Bagi penulis, pernyatan tersebut benar, karena dalam era perkembangan sains teknologi dewasa ini, penguasaan teknologi informasi adalah kebutuhan mendesak. Dunia ini terus berubah setiap detik. setiap peristiwa yang terjadi di belahan bumi barat dalam waktu yang sama di ketahui di belahan bumi timur. Ini dampak disebabkan karena kemajuan era globalidsasi yang terjadi sebagai dampak dari teleponisasi, tipinisasi, radionisasi,internisasi, amailinisasi. Tidak ada suatu yang menjadi rahasia lagi oleh karena itu, dalam memperjuangkan menuju papua merdeka, prinsip penguasaan teknologi komunikasi adalah kebutuhan mendesak. Ini sangat ampuh.

14. PINSIP KESABARAN
Salah satu prinsip perjuangan yang perlu di pedomani oleh rakyat dan bangsa papua barat adalah kesabaran. Pemasmur mengakatan “orang sabar melebihi seorang pahlawan dan orang yang menguasai dirinya, sama seperti merebut sebua kota” (Amsal 16:32). Prinsip perjuangan lain yang harus di miliki oleh rakyat dan bangsa papua barat adalah penguasahan diri dan pengendalian diri dalam proses memperjuangkan menuju papua merdeka. Sabar itu sangat penting dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Dengan kesabaran pasti mencapai tujuan yang maksimal jangan tergesa gesa, pemasmur bemasmur “orang yang tergesa gesa akan salah langkah” (19:2b).

15. PRINSIP MEMBANGUN IDEOLOGI DAN NASIONALISME RAKYAT PAPUA
Prinsip membangun ideology dan Nasionalisme untuk rakyat dan bangsa papua barat tidak terlalu sulit. Benih benih ideology dan Nasionalisme ke-papua-an itu sudah menjadi bagian dan terpatri dalam hidup orang papua sehingga proses pengembangan nasionalisme dan ideology ke-papua-an tidak membutuhkan waktu lama. Hanya yang perlu di waspadai sekarang adalah terkontaminasinya ideology dan nasionalisme dari bangsa colonial yang merusak ideology papua. Ideology dan nasionalisme adalah factor penting untuk terciptanya orang orang papua yang militant untuk mencintai tanah airnya, papua barat barat yang di jajah oleh bangsa colonial. Ideology dan nasionalisme rakyat dan bangsa Papua barat tidak terlepas dari “Jati Diri Orang Papua ”.
“jadi diri orang papua” harus di bangun sebagai landasan pengembangan ideology dan nasionalisme rakyat dan bangsa papua.”jati diri orang papua adalah hal yang hakiki” ungkap piet maturbongs dalam wawancaranya pada tanggal 19 desember 2000. Piet dengan tepat sekali menambahkan “jati diri orang papua sudah musna dan perluh dibangun kembali dengan revitalisasi pendidikan di tanah papua berdasarkan konteks budaya dan keberadaan orang papua sendiri tanpa mengadopsi budaya dan sistim pendidikan asing yang tidakl relevan bagi eksistensi orang papua.”
Prinsip membangun ideology dan nasionalisme rakyat rakyat dan bangsa papua barat adalah dianggap kebutuhan yang sangat urgen (mendesak). Karena jika orang papua tidak memiliki tatanan ideology dan nasionalisme yang solit, maka pengaruh ideology asing akan memporak-porandakan nilai nilai dan semangat juang rakyat dan bangsa papua dalam upaya menuju penemuan identitas, harga diri serta martabat yang selama ini di injak-ijak bangsa colonial. Pendidikan ideology harus di bangun secara terporogram, terpadu, dan kontinuitas.

16. PRINSIP DISIPLIN, LOYALITAS, DEDIKASI, KESETIAAN
Prinsip perjuangan lain adalah menunjukan disiplin kerja, loyalitas (ketaatan), dedikasi (pengapdian), dan kesetiaan terhadap tugas panggilan masing masing. Prinsip disiplin kerja, ketaatan, pengapdian dan kesetiaan adalah perkara yang sangat fundamentral. Bangsa colonial akan segan dan takut jikalau rakyat dan bangsa papua barat menunjukkan prinsip ini di negeri papua.

17. PRINSIP KONSOLIDASI DAN REKONSILIASI
A). Rekonsiliasi Internal
Prinsip rekonsiliasi internal adalah rakyat dan bangsa papua barat harus meninggalkan dikotomi orabng papua pantai dan orang papua pegunungan atau pedalaman. Di negeri papua barat ini yang ada adalah orang orang ras negroid dan rumpun malanesia. Orang orang papua adalah orang orang papua yang berkulit hitam dan berambut keriting. Di tanah air dan negeri papua barat tidak ada istilah orang papua pantai dan orang papua pedalaman. Kita ini adalah rakyat dan bangsa papua barat. Rakyat dan bangsa papua barat senasip dan sependeritaan yang dicurigai sebagai “SEPARATIS”,OPM oleh orang Indonesia dan dikejar, di tangkap, disiksa, penjarahkan, di bunu8h dan dihilangkan, dengan bentuk perangkat aturan HUKUM nya. Rakyat dan bangsa papua barat adalah satu bangsa dan satu jiwa sebagai bangsa papua barat.

B). Rekonsiliasi Eksternal
Prinsip konsolidasi dan rekonsiliasi secara eksternal secara sangat penting bagi rakyat dan bangsa papua barat dalam memperjuangkan hak-hak asasi bangsa papua. Prinsip konsolidasi dan rekonsiliasi eksternal yang dimaksutkan penulis adalah dengan saudara saudara kita non-papua yang berada di bumi cenderawasih ini. Prinsip konsolidasi dan rekonsiliasi eksternal dianggap penting, karena tidak sedikit saudara saudara non-papua yang mendukung perjuangan rakyat papua untuk merdeka.
Saudara saudara non-papua mendukung dengan alas an alas an sebagai berikut:
1. Untuk menentang ketidakadilan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan korupsi dan berbagai penipuan dan keangkuhan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia.
2. Saudara saudara non-papua sebagai rakyat dari Indonesia juga adalah korban dari berbagai kebijakan pemerintah Indonesia. Mereka juga adalah bagian dari korban ketidakadilan, diskriminasi, eksploitasi, dan berbagai bentuk kejahatan pemerintah Indonesia terhadap rakyatnya. Mereka membutuhkan suatu pemerintahan yang sangat demokratis dan damai dengan mengutamakan nilai nilai kemanusiaan.
Selain dua kesamaan alasan yang telah disebutkan di atas, ada pula yang perlu di waspadai dan juga diantisipasi kemungkinan kemungkinan seperti ini:
1. Pemerintah Indonesia akan menggalang saudara saudara non-papua untuk mengatasnamakan rakyat dan bangsa papua untuk mengadakan rapat rapat akbar dan membuat berbagai pernyataan di media massa dan di depan public untuk membangun opini bahwa rakyat dan bangsa papua tetap setia kepada NKRI. Pola seperti ini perlu di waspadai supaya pengalaman tahun 1969 waktu PEPERA jangan lagi terulang kembali.
2. Pengalaman tahun 1969 waktu sebe4lum dan sesudah PEPERA jangan terulang kembali di tanah air papua barat.
3. Pemerintah Indonesia akan mempersiapkan rakyat non-papua yang militan untuk mati hidup mempertahankan tanah papua. Perbuatan seperti ini sebenarnya terlaknat, karena yang harus mempertahankan tanah air papua adalah anak anak negeri sebagai alih wartis tanah papua. Orang yang mempertahankan yang bukan menjadi hak dan alih warisnya adalah orang yang tidak memiliki adat dan norma-norma hidup. Karena yang mempertahanklan bukan hak kesulungan dan berkat serta alih warisnya.

18. PRINSIP PINANSIAL (KEUANGAN)
Masalah financial (keuangan) adalah sala satu prinsip dalam perjuangan menuju papua merdeka. Keuangan adalah factor penentuan dalam segalah arah perjuangan pembangunan. Orang papua harus berkomitmen dengan masalah keuangan ini. Komitmen itu kembali pada roda perekonomian. Orang papua mengelola roda perekonomian dengan baik, maka kendali perjuangan dengan muda dikemudikan baik untuk mendukung lobi di luar negeri maupun ke dalam negeri. Lagi pula, membiayai kegiatan kegiatan yang berkaitan dengan perjuangan rakyat dan bangsa papua barat menuju papua merdeka.
Seseorang penulis yang bernama David beanal dalam wawancaranya pada tanggal 20 desember 2000, mengatakan bahwa “rakyat papua mengadapi 3 M sebagai tantangan besar, yaitu: Merdeka, Money (uang), M.16 (Senjata).” Beanal lebih jauh menjelaskan, “aspirasi M rakyat papua sangat kuat dan sangat berat. Kekuatan money sebagai kendala perjuangan. Jika kedua duanya itu tidak di kelola secara professional dan proporsional maka rakyat dan bangsa papua akan di perhadapkan M.16. maka perlu kita gumuli dengan pendekatan perjuangan yang rasional”.

19. PRINSIP PENDEKATAN HAM
Dalam konteks prefektive ham Dr. George Yunus Adi condro mengatakan bahwa:
“kalau kita tetap berpegang pada ke 30 pasal deklarasi universal HAM, dimana salah satu pasalnya adalah hak untuk menentuhkan nasip sendiri dari daerah daerah yang sekarang tidak berdiri sendi. Entah, berupah koloni atau propinsi. Kesempatan tetap terbuka”, (adi condro, cahaya bintang kejora, ELSAM-Jakarta, 2000, hal.190).
Merujuk dari pandangan yang diikuti di atas, dalam konteks pendekatan dengan prinsip ham, peluang untuk papua merdeka terbuka lebar. Untuk itu, tinggal sekarang bagaimana upaya upaya rakyat dan bangsa papau barat mengelola kerinduan dan pergumulan papua merdeka itu dengan menghargai hak hak manusia. Kepada rakyat dan bangsa papau barat diingatkan supaya perjuangan menuju papua merdeka tidak harus dengan kekerasan, pemerasan, intimidasi, teror, dan intervensi terhadap siapa saja yang berada di negeri papua barat ini.
Rakyat dan bangsa papua barat berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir (mengurangi) sikap yang memaksakan kehendak kepada setiap individu, kelompok, maupun kepada siapa saja yang berada, hidup dan bekerja di papua barat. Adiconro menganjurkan kepada rakyat dan bangsa papua barat sebagaimana yang di kutip di bawah ini.

“yang tidak boleh adalah orang pro/OPM memaksa orang lain juga pro/OPM. Kalau kita menghormati hak berbeda pendapat maka boleh saja ada orang papua yang pro RI, ada orang papua yang pro OPM.juga selp determination ringht, hak menentuhkan nasif sendiri”.(ibit hal.190)
Lebih jauh dalam konteks Ham, adicondro menegaskan bahwa:

“jika kita menerima deklarasi universal Ham maka memperjuangkan republic papua barat adalah suatu hal yang legal. Yang tidak legal adalah jika ada orang yang baku bunuh untuk itu. Seperti membunuh transmingan jawa. Atau tentara jawa membunuh orang papua. Itu yang illegal dan tak bisa di tolerir” (ibit.hal 155).
Prinsip ham yang lebih luas adalah hak kemerdekaan pembicara, hak berkarya, hak menentuhkan nasip sendiri, hak mendapatkan pendidikan, hak kemerdekaan untuk menyampaikan pikiran dengan tulisan tulisan ilmiah. Hak kebebasan akademis, hak kebebasan mengekspresikan intelektualnya. Dan hak untuk mendapatkan perlindungan hokum, hak untuk tinggal disuatu tempat sesuai dengan kehendak orang yang bersangkutan. Setiap orang memiliki hak hakiki. Hak asasi adalah pemberian allah bukan pemberian dari manusia sehingga hak hak tiap tiap manusia tidak bisah di ganggu oleh siapapun dengan alasan apapun. Hak hak dasar manusia sebagai pemberian tuhan itu tidak bisah di batasi dengan perangkat aturan manusia kebebasan dan kemerdekaan setiap manusia adalah hak yang mendasar.

20. PRINSIP PENDEKATAN SENI BUDAYA
Sebelum jabar lebih jauh, penulis mengajukan suatu pertanyaan untuk para membaca. Bagaimana perasahan sebagai orang papua ketika anda menderngar lagu-lagu “mambesak” yang dirintis oleh sangbudayawan dan antropologi sejati, tuhan arnol C. Ap, BA dan tuan Edward mofu dkk?
Untuk penulis sendiri anak papua merasakan bahwa “jati diri, harga diri, martabat diri, citra diri, sebagai anak papua terus dibangun”. “saya adalah saya” atau dengan kata lain”papua tetap papua”. Penulis percaya bahwa orang-orang tulem papua pun merasakan hal yang sama. Untuk itu, sala satu instrument perjuangan yang harus ditempuh adalah meningkat seni budaya orang papua. Bangkitlah pemuda papua, jangan terkontanminasi dengan budaya dan ideology kaum colonial. Lambat dan pelan tapi pasti sampai pada tujuan.
Untuk memperjuangkan “jati diri” orang papua yang selama ini di injak-injak para colonial, perlu dikembalikan dengan pendekatan seni budaya. Modal alam sangat penjanjikan rakyat papua barat untuk menjadikan alat perjuangan untuk menuju papua baru. Kelompok budayawan papua didirikan pada tanggal 15 agustus 1978 di bawa komando arnol c. ap dan kawan-kawan itu, penting di tumbu kembangkan masa sekarang ini. Kepiawaian tuan arnol ap di puji oleh Dr. George junus aditjondro dengan pernyatahan berikut ini “berti dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan papua sedang terjadi, di motori oleh arnol ap dari kantornya di loka budaya uni versitas cenderawasi….. ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan took-toko adat serta seniman-seniman alam yang asli di papua” (ibid. hal. 23).
Rakyat papua barat memiliki keunikan tersendiri dari orang-orang rumpun melayun. Banyak kehindaan alam gunug. Laut, hutang, burung, hewan dan binatang-binatang langka yang diciptakan tuhan dan di peruntukkan bagi orang-rang ras negroi dan rumpun malanesia yang terkenal dengan sebutan orang papua atau lebih tepat lagi adalah rakyat papua barat. Rakyat papua diminta untuk pakai baju “kebaya” dan juga diminta melakoni “wayang” dan diminta memotong “nasi tumpeng” sangat tudak relevan. Karena, semua itu seni budaya orang_orang rumpun melayu.
Kebenaran, kejujuran, keadilan, kasih dan kedamaian dijadikan patut mendaoat tempatsebagai pilar penyangga dan pedoman perjuangan rakyat papua barat untuk mencapai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Maka tidak ada istilah “separatis” dan juga tidak ada terminology “makar” di negeri papua barat. Bertolak dari nilai-nilai universal ini, matin luter king dalam upaya pembebasan perbudakan terhadap orang-orang kulit hitam di AS di pedomani prinsip “kasih” dan “keteraturan”. Simaklah kutipan dibawa ini.
“ persoalan tak akan selesai dengan membalas tindakan kekerasan mereka. Kita harur menghadapi kebencian dengan kasih” (hal. 45.). dibagian lain luter berkata: “kita akan dituntun oleh prinsip-prinsip tertinggi dari hokum dan keteraturan” (hal.37)

Perjuangan untuk menemukan jatidiri rakyat papua barat, patut dilalui dengan pendekatan dengan seni budaya. Karena, seni budaya adalah salasatu inspirasi dan napas dengan alunan lagu-lagu daera yang menjiwai setiap anak papua barat dengan kasih dan keteraturan atas panggilan tanah hair.

By. Sokrates sofyan Yoman